A Mirror On The Wall : Simulasi dan Simulakrum

Table of Contents
Simulasi dan Simulakrum
Simulakrum
Pendapat yang radikal hubungan representasi media dengan realitas berasal dari Jean Baudrillard.  Menurut Baudrillard apa yang ditampilkan oleh iklan bukanlah sebuah representasi tapi sebuah simulasi, yaitu penciptaan model-model realitas yang tidak memiliki asal usul atau referensi (hyperreality atau realitas hiper). Realitas dalam iklan lebih bersifat simulasional daripada representasional. Simulasi ini menggambarkan sebuah visi tentang dunia yang ditransformasikan melalui imajinasi-imajinasi. Dunia yang digambarkan adalah dunia yang lebih menakjubkan, lebih ajaib, lebih membahagiakan, dan lebih segalanya daripada dunia real. Melalui model simulasi tersebut, manusia dijebak ke dalam sebuah ruang yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu atau khayalan belaka.

Hal ini membawa fantasi, citra-citra dan makna-makna simbolik seperti yang ditampilkan oleh iklan tersebut, tidak merujuk pada realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Tapi, fantasi, citra-citra itu justru menjadi determinan dari realitas sosial, menjadi model-model yang menyusun realitas sosial dan menghapus perbedaan antara the model dan the real.  Untuk menggambarkan simulasi tersebut, Baudrillard menggunakan analogi peta dan teritori yang dipinjamnya dari Jorge Luis Borgers dimana dalam proses representasi, teritori ada mendahului peta (teritori a peta). Peta merupakan representasi dari teritori. Berapa luas teritori diukur dulu untuk kemudian direpresentasikan dalam peta dengan menggunakan ukuran skala. Jadi, teritori menjadi rujukan dalam membuat peta. Sedangkan dalam proses simulasi petalah yang mendahului teritori (peta a teritori). Peta ada terlebih dahulu sebelum teritori, Abstraksi sekarang bukan lagi peta, cerminan dari sebuah konsep. Simulasi adalah model realitas tanpa yang asli atau tanpa realitas. Teritori tidak lagi mendahului peta atau menggunakan peta, kini peta yang mendahului teritori.

Jika dianalogikan dengan periklanan, peta bisa diibaratkan sebagai tanda-tanda yang dihadirkan dalam periklanan dan teritori adalah realitas sosial yang ditiru dari tanda-tanda tersebut.  Apa yang ditampilkan oleh iklan dianggap nyata dan menjadi acuan dari realitas sosial. Iklan-iklan dengan kemajuan teknologis, menurut Baudrillard, digunakan untuk menciptakan simulasi-simulasi yang mampu mengungkapkan cerita-cerita fantasi, sebagai upaya untuk mendorong reaksi-reaksi khalayak yang diinginkan oleh pengiklan. Dengan demikian, simulasi adalah kebalikan dari representasi. Dalam representasi, realitas sosial adalah referensi yang mendahului tanda. Sedangkan dalam simulasi, tanda tidak memiliki referensi realitas. Simulasi-simulasi tersebut menggantikan dunia nyata (the real world) dengan pseudo-world melalui citra-citra, tanda-tanda dan model-model yang seolah-olah nyata dan dianggap nyata.

Dalam pandangan Baudrillard, iklan itu hanya sebuah presentasi tanda-tanda tanpa referensi, bahwa tanda-tanda itu hanyalah simulasi-simulasi, dan nothing more. Ia tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ada realitas dibalik tanda-tanda. Pendapat itu mengatakan bahwa meskipun mungkin tertutup oleh tanda-tanda yang tidak bisa dipercaya (sebagai akibat dari false representation), tapi pada dasarnya ada yang real dibalik tanda-tanda tersebut. Dalam kritiknya terhadap iklan, kaum modernis selalu mengatakan bahwa citra-citra maupun tanda-tanda lain yang ditampilkan oleh iklan, telah menyebabkan informasi iklan menjadi distorsif karena adanya otensitas yang disembunyikan oleh para pengiklan. Sementara Budrillard menganggap bahwa iklan adalah iklan, tidak ada lagi realitas, yang ada hanyalah tanda-tanda. Iklan bukan the real thing, tapi hanya merupakan sebuah upaya untuk membuat orang percaya atau make believe, hanya simulasi-simulasi. Tidak ada yang tahu dan peduli iklan itu menandakan apa. Orang juga tidak bisa lari dari kenyataan bahwa otensitas memang sudah tidak ada lagi. Realitas itu dimulai dan diakhiri dengan tanda-tanda.

Media massa, dalam pandangan Jean Baudrillard, merupakan mesin-mesin simulasi yang memegang peran kunci dalam mereproduksi citra, tanda dan kode. Seluruh reproduksi citra, tanda dank ode ini kemudian membentuk alam realitas hiper yang sifatnya otonom dan memainkan peran kunci dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi penyebab lenyapnya realitas. Ia menolak asumsi bahwa media massa berperan dalam merefleksikan atau mempresentasikan realitas sosial. Sebaliknya, media dipercaya sebagai pencipta realitas hiper, sebuah realitas media baru yang lebih real dari the real, dimana the real ini menjadi subordinat dari representasi. Hal ini menyebabkan lenyapnya the real tersebut.

Simulasi sendiri menurut Baudrillard merupakan akibat dari kemajuan di bidang teknologi informasi dalam proses reproduksi objek. Perkembangan eksplosif media membuat kita dikelilingi oleh tanda-tanda (sign) dan mode of signification. Kehidupan dikendalikan oleh sebuah sirkulasi tanda-tanda yang tanpa henti. Setiap hari kita membunyikan radio, menonton televisi, membaca surat kabar, mendengarkan musik, menghias diri dengan cara simbolik, menggunakan pakaian yang sarat dengan tanda, mendekorasi rumah dengan barang-barang simbolik, demikian juga dalam berkendaraan, bahkan ketika makan pun kita sedang mempertontonkan sebuah tanda kepada dunia.

Simulasi, menurut Baudrillard telah menggantikan representasi, karena simulasi telah membalik representasi. Jika representasi itu mengacu pada realitas sebagai reperentasinya (referensi/realitas a representasi), maka simulasi muncul mendahului realitas, atau dengan kata lain, representasi itu sendiri telah mendahului referensi (representasi a referensi/realitas). Dengan demikian, tanda tidak lagi memiliki hubungan dengan realitas apapun, tanda tidak lagi merepresentasikan apapun. They stand for nothing but themselves, and refer only to other signs. Tanda-tanda dalam iklan itu sifatnya self-referential, artinya, tanda-tanda tersebut hanya menjalani pemenuhan maknanya sendiri (self contained process). Mereka tidak terkait dengan masalah sosial budaya yang lebih luas. Tanda-tanda tersebut bersifat otonom dan tidak membutuhkan kaitan referensial atau kontekstual dengan hal apa pun diluar dirinya.

Perkembangan tanda-tanda dan informasi dalam media telah melenyapkan makna melalui netralisasi dan penghapusan semua isi media, sebuah proses yang membawa pada penghancuran perbedaan antara media dan realitas. Akibatnya, tidak mungkin lagi untuk membedakan antara representasi-representasi media dengan realitas yang seharusnya direpresentasikan oleh media tersebut. Komunikasi media tidak lagi memiliki referensi signifikan kecuali pada citra-citra itu sendiri (self-referential), dan citra-citra lainnya. Media informasi dan komunikasi tidak secara aktif memproduksi makna, tapi lebih menyerap citra secara pasif dan menolak keberadaan makna. Oleh sebab itu, dalam pandangan Baudrillard, media tidak memiliki peran dalam melakukan konstruksi makna atau ideologi.

Sebetulnya, simulasi adalah hasil evolusi degenerative dari cara-cara representasi, dimana tanda-tanda menjadi semakin kosong akan makna. Baudrillard mengemukakan empat fase suksesi hubungan antara citra dengan realitas.
1. Citra adalah refleksi realitas
2. Citra menutupi dan membelokkan realitas
3. Citra menutupi tidak adanya realitas, dan
4. Citra tidak memiliki hubungan dengan realitas apapun, ia adalah sebuah simulacrum murni, yaitu sebuah kopi yang tidak lagi memiliki asal usul.

Keempat fase tersebut oleh Baudrillard dihubungkan dengan tiga tahap historis di mana di dalamnya evolusi degenerative hubungan antara tanda atau citra dengan realitas terjadi. Tahapan revolusi ini sifatnya total dan katastropik. Artinya tahap yang mendahuluinya tidak relevan lagi dengan tahap sebelumnya dan tidak bersifat dialektis. Ketiga tahap historis tersebut meliputi.
Pertama, counterfeit yang merupakan skema dominan dari era klasik. Dimulai dari zaman renaissance hingga zaman awal revolusi industri. Disini, fase pertama dari suksesi tanda terjadi, dimana tanda-tanda merefleksikan realitas yang mendasarinya. Jadi, ada stable atau fixed meaning dari tanda-tanda tersebut. Oleh karena itu, sangat sulit untuk melakukan perubahan makna secara drastic dan mobilisasi kelas. Pada tahap ini, perbedaan antara realitas dan imajinasi mencapai tingkat yang paling tinggi.

Kedua, produksi, yang merupakan skema dominan dari era industrial. Dimulai dari era perkembangan  Revolusi Industri hingga akhir Perang Dunia II. Pada tahap ini science fiction mulai dipertimbangkan, tema-tema modern tentang energi dan produktivitas menggantikan keyakinan akan kekuatan supernatural. Penemuan-penemuan ilmiah semakin banyak dan apa yang menjadi mimpi utopia pada tahap Couterfeit mulai bisa diwujudkan. Pada tahap ini, tanda-tanda hadir untuk menutupi tidak adanya basic reality (fase kedua). Baudrillard melihat bahwa proses produksi menjadi sebuah proses reduplikasi objek-objek yang dilakukan secara mekanis.  Ia mencermati perkembangan pertukaran kapitalisme pasar pada era produksi ini dengan munnculnya sign-value dan symbolic exchange yang deterministik pada masyarakat konsumen. Teori nilai komoditi yang dikemukakan Marx dianggap tidak bisa lagi mengantisipasi munculnya masyarakat konsumen pada era produksi ini.

Tahap ketiga adalah simulasi, yaitu era setelah Perang Dunia II. Pada tahap ini, fase ketiga dan keempat terjadi, dimana pada akhirnya tanda-tanda tidak lagi memiliki hubungan dengan realitas apapun, yaitu simulacrum murni atau pure simulacrum. Realitas dan citra atau tanda menjadi sulit dibedakan, karena keduanya mengalami implosi. Simulasi yang dimaksud oleh Baudrillard adalah sebuah proses proliferasi dalam bentuk penciptaan objek secara simulative yaitu objek yang didasari oleh referensi yang tidak nyata atau tidak jelas asal-usulnya. Sebuah proses penciptaan model-model yang tidak memiliki referensi realitas, atau model-model tanpa asal usul.

Simulasi menghasilkan ruang yang disebut sebagai ruang simulacrum. Ruang simulacrum adalah adalah ruang yang berisi realitas-realitas semu (realitas hiper).  Simulacrum sendiri merupakan duplikasi dari duplikasi sehingga tidak menyertakan realitas atau referensi asli dalam proses produksi atau reproduksinya. Ia adalah citra yang telah mencapai fase keempat  dalam tahapan suksesi citra. Ia tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan realitas asli yang menjadi asal usulnya. Baudrillard menganggap bahwa tanda-tanda atau citra-citra telah terputus dari konteks sosialnya.

Dalam era simulasi ini, teknologi media tidak lagi sekedar meniru realitas tapi memproduksi realitas baru yang lebih real daripada yang real. Dalam dunia simulasi sulit untuk membedakan batas-batas antara imajinasi dan realitas. Keduanya jadi setara karena posisi imajinasi berada dalam realitas itu sendiri. Jika dalam prinsip realitas nyata dapat dibedakan antara yang benar dan salah, nyata-imajiner, maka simulasi meluruhkan kedua kutub perbedaan tadi.

Dengan demikian, konsep simulasi dari Baudrillard ini berseberangan dengan konsep representasi maupun dissimulation (false representation). Simulasi membalik hubungan antara representasi dan yang direpresentasikan (realitas). Jika dalam representasi, realitas atau referensi tetap bisa ditemukan di balik citra atau tanda. Lain halnya dengan simulasi, yang menggantikan the real world dengan pseudo world melalui proliferasi alam citra atau tanda dan model-model yang muncul menjadi the real, dan diyakini sebagai the real. Dengan demikian, terjadi jalinan antara citra atau tanda atau model dengan the real yang tidak mungkin lagi untuk dibedakan satu sama lain.

Konsep simulasi dan munculnya pseudo-world dalam masyarakat kontemporer pernah dikemukakan pula oleh Daniel Boorstin dalam bukunya The Image yang dipublikasikan pada tahun 1961. Pada waktu itu sebetulnya masih merupakan awal perkembangan peran ilusi dalam lingkungan material dan kultural Amerika, namun Boorstin melihat sebuah kejelasan bahwa ilusi-ilusi tersebut akan menjadi sebuah kekuatan yang mendominasi masyarakat. Ia mengkritik penggunaan simulasi-simulasi dan fase appearance dalam budaya kontemporer.

Simulasi menurut Boorstin adalah sebuah kategori sosial yang menghubungkan dan menyatukan berbagai fenomena yang tidak sama atau berlainan. Simulasi-simulasi ini menawarkan bentuk-bentuk transendensi palsu kehidupan sehari-hari. Ia muncul sebagai akibat dari kekecewaan atas apa yang ditawarkan oleh dunia. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat dipenuhi dengan pseudo-event yaitu peristiwa-peristiwa yang sengaja diskenariokan dan dipentaskan yang seolah-olah menjadi sebuah peristiwa yang aktual. Hadirnya pseudo-event ini memunculkan apa yang diistilahkan Boorstin sebagai counterfeit people, yaitu orang-orang seperti para selebritis yang identitasnya diskenariokan dan dipentaskan untuk menciptakan ilusi-ilusi yang sering tidak ada hubungannya dengan realitas apapun. Simulasi-simulasi ini semakin meluas dengan dukungan media massa terutama iklan.

Iklan melibatkan bentuk-bentuk penipuan dan penggunaan ilusi-ilusi. Produk-produk yang diiklankan dibuat secantik mungkin untuk menarik perhatian penonton. Misalnya, iklan produk bubur ayam instan diperlihatkan lebih lezat dari kenyataannya, lengkap dengan sayuran dan telur, seolah-olah sayuran dan telur tersebut sudah ada dalam kemasan bubur ayam tersebut. Selain itu, iklan juga menggunakan citra-citra atau image yang dimanipulasi secara digital sehingga mampu memunculkan alam fantasi dan mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang bisa ditemui didunia nyata. Apa yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, dapat diwujudkan dalam dunia iklan. Dengan kata lain, iklan menjanjikan bentuk-bentuk transformasi kepada konsumen seperti premis-premis tentang prestise, harga diri, kontrol atas kehidupan dan sebagainya. Ia membuat konsumen terinspirasi untuk melarikan diri dari segala kekuarangan dan ingin selalu merasa lebih dari yang bisaanya.

Iklan, menurut Boorstin juga menghadirkan gabungan antara pseudo-event dan pseudo-ideal. Pseudo-event adalah peristiwa yang dimunculkan seolah-olah natural atau spontan, padahal sebetulnya diatur dan direncanakan, atau diskenariokan sedemikian rupa oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk membuat impresi pada opini publik. Sedangkan, pseudo-idel merupakan representasi suatu nilai yang didalamnya terdapat model perilaku dalam bentuk impresionik. Iklan menggabungkan peristiwa-peristiwa yang dikonstruksi atau dicitrakan dengan nilai-nilai ideal dari sebuah model perilaku untuk mendukung munculnya realitas yang diinginkan. Akibatnya masyarakat menjadi kehilangan kontak dengan realitas dan juga nilai-nilai ideal yang selama ini dipegang dan diyakini. Nilai-nilai ideal itu kini digantikan oleh citra-citra yang superficial.

Kembali pada Baudrillard, ia menegaskan bahwa pada era simulasi ini, kita hidup di tengah-tengah kelimpahan tanda yang tidak menandai apapun. Tanda-tanda itu hanya bisa dilihat, dialami dan mungkin dinikmati tanpa ada signifikasinya.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment