Disorganisasi (Disintegrasi) dan Reorganisasi (Reintegrasi)
Table of Contents
Reintegrasi |
Demikian halnya kehidupan dalam sebuah kota, misalnya, merupakan suatu organisasi tersendiri. Ada kegiatan membersihkan kota pada waktu-waktu tertentu, jalan raya untuk keperluan transportasi, restoran, tempat rekreasi, sekolah, rumah penduduk, dan seterusnya. Apabila salah satu bagian kota tadi tidak berfungsi, timbullah ketidakserasian. Misalnya saja, jika ada jalan yang ditutup karena rusak berat, lantas akan timbul kemacetan. Maka, dapatlah dikatakan bahwa disorganisasi adalah suatu keadaan di mana tidak ada keserasian pada bagian-bagian dari suatu kebulatan.
Kriteria terjadinya disorganisasi antara lain terletak pada persoalan apakah organisasi tersebut berfungsi secara semestinya atau tidak. Dalam masyarakat disorganisasi sering kali dihubungkan dengan moral, yaitu anggapan-anggapan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Pemogokan buruh misalnya dianggap oleh golongan konservatif sebagai perbuatan tidak baik, padahal pemogokan tersebut bisa jadi merupakan sarana penyerasi antara hak dan kewajiban.
Suatu disorganisasi atau disintegrasi mungkin dapat dirumuskan sebagai suatu proses berpudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara itu, reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah melembaga (institutionalized) dalam diri warga masyarakat. Berhasil atau tidaknya proses pelembagaan (institutionalization) tersebut dalam masyarakat mengikuti pola sebagai berikut, yaitu apabila efektivitas menanam kecil, sedang kekuatan menentang besar, kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil, jalannya proses pelembagaan menjadi lancar. Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang berpengaruh positif dan negatif itu, orang dapat menambah kelancaran proses pelembagaan dengan memperbesar efektivitas menanam dan atau mengurangi kekuatan menentang masyarakat.
Perlu pula diperhatikan bahwa penggunaan kekerasan untuk mengurangi kekuatan menentang masyarakat biasanya malah memperbesar kekuatan tersebut. Mungkin saja kekuatan menentang tersebut tidak muncul keluar, namun meresap ke dalam jiwa dalam bentuk dendam dan benci. Perasaan-perasaan demikian juga penghambat proses pembangunan.
Di samping pengaruh positif dan negatif itu, ada pula pengaruh dari faktor ketiga, yaitu faktor kecepatan menanam. Artinya adalah panjang pendeknya jangka waktu menanam itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Semakin tergesa-gesa orang berusaha menanam dan semakin cepat pula mengharapkan hasilnya, semakin tipis efek pelembagaan dalam masyarakat. Sebaliknya makin tenang orang berusaha menanam dan makin cukup waktu yang diperhitungkan untuk menimbulkan hasil dari usahanya, semakin besar hasilnya.
Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi
Pada masyarakat-masyarakat tradisional, aktivitas seseorang sepenuhnya berada di bawah kepentingan masyarakatnya. Segala sesuatu didasarkan pada tradisi dan setiap usaha mengubah satu unsur saja, itu berarti bahwa sedang ada usaha untuk mengubah struktur masyarakat seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci, tak dapat diubah-ubah dengan drastis dan berjalan lambat sekali. Perubahan dari suatu masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern akan mengakibatkan pula perubahan dalam jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Apabila disorganisasi terjadi dengan sangat cepat, misalnya karena meletusnya revolusi, maka mungkin akan timbul hal-hal yang sukar untuk dikendalikan. Dengan demikian, reorganisasi tidak dapat terjadi dengan cepat karena terlebih dahulu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kemungkinan akan terjadi suatu keadaan di mana norma-norma lama sudah hilang karena disorganisasi tadi, sedangkan norma-norma baru belum terbentuk. Keadaan tersebut merupakan keadaan krisis dalam masyarakat. Pada keadaan demikian dijumpai suatu anomie, yaitu suatu keadaan di mana tak ada pegangan terhadap apa yang baik dan apa yang buruk sehingga anggota-anggota masyarakat tidak mampu mengukur tindakan-tindakannya karena batas-batas tidak ada. Anomie mungkin pula terjadi pada waktu suatu disorganisasi meningkat ke tahap reorganisasi.
Ketidaksersian perubahan-perubahan dan ketertinggalan budaya (cultural lag)
Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah, tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih mudah berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Apabila terdapat unsur-unsur yang tidak mempunyai hubungan yang erat, tak ada persoalan mengenai tidak adanya keseimbangan laju perubahan-perubahan. Misalnya, suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tarian-tarian tradisional. Akan tetapi, sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri.
Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut di atas sehingga keserasian masyarakat terganggu. Misalnya pertambahan penduduk yang cepat harus diikuti pula dengan penambahan jumlah petugas keamanan. Atau pertambahan jumlah sekolah-sekolah harus diikuti pula dengan penambahan lapangan kerja. Ketidakserasian unsur-unsur tersebut akan berakibat ketidakserasian dalam masyarakat.
Suatu teori yang terkenal dalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn. Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhan seperti diuraikan sebelumnya, tetapi ada bagian yang tumbuh cepat, sedangkan ada bagian lain yang tumbuhnya lambat. Perbedaan taraf kemajuan dari berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan kebudayaan).
Pengertian ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu pertama sebagai jangka waktu tertentu antara terjadinya dan diterimanya penemuan baru. Arti kedua dipakai untuk menunjuk pada tertinggalnya suatu unsur tertentu terhadap unsur lainya yang erat hubungannya, seperti contoh di atas. Ketertinggalan yang mencolok adalah tertinggalnya alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, yang dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Dalam mengatasi semua hal di atas memang tidaklah mudah, paling tidak alam pikiran manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi pembaharuan dan pembaruan. Di sinilah pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luas daya pikirannya.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 5.1 Integrasi dan Reintegrasi Sosial (Kurikulum Revisi 2016)
2. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 5.2 Integrasi dan Reintegrasi Sosial (Kurikulum Revisi 2016)
3. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab. 5 Integrasi dan Reintegrasi Sosial (Kurikulum 2013)
4. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab 2. Konflik dan Integrasi Sosial (KTSP)
5. Materi Ujian Nasional Kompetensi Konflik Sosial dan Integrasi Sosial
Post a Comment