Emmanuel Levinas. Metafisika tentang Yang Lain
Table of Contents
Emmanuel Levinas |
Plotinos sudah mengatakan bahwa jiwa tidak pernah pergi ke sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri dan tidak berada dalam sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Dalam filsafat modern titik tolak ini mendapat kedudukan kuat sejak pernyataan Descartes tentang cogito ergo sum (aku berpikir, jadi aku ada). Dengan Descartes filsafat modern menjadi egologi. Dan egologi itu berkembang terus sampai dengan Husserl dan murid-muridnya (Husserl sendiri menggunakan istilah egologi untuk menunjuk filsafatnya). Sartre misalnya masih melukiskan aktivitas khas manusiawi sebagai totalisasi. Tendensi ini tampak dengan jelas sekali dalam idealism. Bagi idealism Ada dimengerti sebagai imanensi atau interioritas. Bagi idealism Ada itu sama dengan kesadaran yang mengkonstitusikan dirinya sendiri. Yang lain hanya ada karena dan bagi kesadaran-diri. Filsafat yang ditandai oleh totalisasi itu oleh Levinas disebut ontology.
Totalitas itu didobrak oleh yang Tak Berhingga. Dengan Tak Berhingga dimaksudkan di sini suatu realitas yang secara prinsipial tidak mungkin dimasukan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan saya. Yang Tak Berhingga itu adalah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Totalitas yang saya susun dengan seksama, langsung pecah dalam perjumpaan dengan Orang Lain. Untuk merumuskan pengalaman itu Levinas menciptakan suatu istilah filosofis yang baru: Wajah. Saya berjumpa dengan yang Tak Berhingga karena penampakan Wajah (l’epiphanie du visage). Penampakan Wajah itu merobohkan egoism saya. Jika Levinas mengatakan Wajah, ia tidak memaksudkan suatu hal fisis atau empiris, seperti keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, dan seterusnya. Seandainya sama dengan sesuatu yang bersifat empiris begitu saja, Wajah akan termasuk totalitas juga. Tetapi yang dimaksudkannya ialah orang lain sebagai lain, orang lain menurut keberlainannya. Jadi, kualitas-kualitas fisis atau psikis yang bisa tampak pada sebuah wajah (tampan, muda, cemerlang, dan lain-lain) tidak penting bagi dia. Yang dimaksudkan ialah le visage nu: Wajah telanjang; artinya wajah begitu saja, Wajah dalam keadaan polos. Wajah itu menyatakan diri sebagai visage signifiant, Levinas mengatakan lagi: Wajah yang mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.
Menurut Levinas, dalam filsafat Barat sampai sekarang adanya sesama manusia belum pernah dipikirkan dengan semestinya. Adanya sesama manusia merupakan suatu fenomena sui generis, suatu fenomena yang sama sekali unik, yang tidak dapat diasalkan dari atau kepada sesuatu yang lain. Orang Lain tidak merupakan bagian dari suatu totalitas; ia tidak dapat dimasukan dalam suatu keseluruhan. Ia selalu tinggal tersendiri, selalu mempertahankan otonomi, dan kepadatan yang tak terselami. Dengan Orang Lain tampak suatu eksteriorits, suatu transendensi. Untuk dapat menjumpai dia, saya harus keluar dari imanensi saya. Ia membuka suatu dimensi tak berhingga bagi saya. Jadi, Orang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan dimasa lampau, bukan aku yang lain. Saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari aku. Dia lain sama sekali. Orang lain adalah si Pendatang, Orang Asing (l’Etranger).
Penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis. Itulah satu langkah penting sekali dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh tinggal tak acuh saja. Ia mewajibkan saya. Ia mengadakan apel kepada saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia mengimbau saya agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai janda dan yatim piatu kata Levinas dengan logat yang mengingatkan pada nabi-nabi Israel kuno. Karena penampilan Wajah saya diinterpelasi dari atas dan dipanggil untuk bertanggungjawab. Orang lain adalah guru dan tuan saya. Imbauan Wajah kepada saya pada pokoknya ialah jangan membunuh. Bila Kain bertanya: apakah aku penjaga adikku (Kejadian 4:9), maka karena penampilan Wajah harus saya akui bahwa saya memang penjaga saudaraku. Kewajiban etis yang timbul dengan Wajah harus dianggap asimetris. Yang harus saya berikan kepada orang lain, tidak boleh saya tuntut dari dia. Saya boleh memberikan hidup saya bagi sesama, tetapi saya tidak berhak untuk membuat dia menjadi keuntungan dan kegunaan saya. Relasi saya dengan sesama tidak boleh didasarkan pada do ut des atau balas jasa. Asimetris etis ini disertai suatu asimetri metafisis: saya tidak dapat melihat diri saya dari luar dan berbicara tentang diri saya serta orang lain dalam arti yang sama. Totalisasi semacam itu secara prinsipial tidak mungkin.
Seperti diketahui, dalam filsafat Martin Buber pun hubungan antar-manusia mendapat perhatian khusus. Dan pandangannya dalam hal ini pasti dilatarbelakangi juga oleh alam pikiran Yahudi. Buber melukiskan relasi antar-manusia sebagai relasi Aku—Engkau. Tetapi filsafat dialogis Buber ini tidak dapat memuaskan Levinas. Keberatan fundamental Levinas ialah bahwa relasi dengan Orang Lain tidak ditandai resiprositas, melainkan asimetri. Tampilnya Orang lain mengakibatkan saya bertanggung jawab. Inilah kejadian yang sama sekali menentukan. Relasi Aku—Engkau pada Buber melewati begitu saja ciri etis tersebut dan itulah kelemahannya yang utama. Di samping itu ia mempunyai keberatan juga bahwa adanya imanensi dan transendensi dalam relasi intersubjektif pada Buber tidak dipikirkan dengan semestinya. Namun, selain kritik ini, ia sangat menghargai usaha filosofis Buber dan merasa pemikirannya sendiri dekat dengan dia.
Pemikiran yang membuka diri bagi dimensi tak berhingga yang tampak dengan adanya yang lain, oleh Levinas disebut metafisika; sedangkan ontologi adalah istilah yang—sudah kita lihat—dikhususkan untuk menunjukkan pemikiran tentang yang sama. Salah satu tesis pokok pada Levinas ialah bahwa kepada metafisika harus diberi prioritas di atas ontologi. Dan karena penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis, maka kiranya sudah jelas bahwa metafisika itu menurut kodratnya bersifat etis; metafisika dan etika tidak dapat dipisahkan. Etika adalah filsafat pertama, kata Levinas. Prioritas metafisika terhadap ontologi diungkapkan Levinas juga dengan suatu perkataan Plato yang sangat digemarinya, yaitu ide Baik harus ditempatkan di seberang ide Ada. Perkataan Plato ini sudah dikutip sebagai pedoman bagi jalan pemikirannya dalam buku kecil De l’existence a l’existant dari tahun 1947 dan dapat menjadi kunci untuk mengerti judul karya besar dari tahun 1974 Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi.
Beberapa kali Levinas menandaskan bahwa filsafat Barat dapat dibandingkan dengan Odysseus, pengembara yang sudah banyak petualangan pulang kembali ke kampung halamannya: pulang ke apa yang dikenal. Yang dimaksudkannya ialah tokoh utama dalam epos Homeros yang berjudul Odyssea. Bagi kita di Indonesia boleh ditambah: seperti juga dalam Ramayana akhirnya Rama pulang ke tempat asalnya. Tetapi perjalanan yang harus kita ikuti—katanya—ialah perjalanan seperti ditempuh oleh Abraham, orang yang dipanggil oleh yang lain, supaya ia meninggalkan tanah tumpah darahnya dan untuk selama-lamanya keluar dari rumahnya menuju negeri asing yang dijanjikan: exodus (keluaran) ke apa yang tidak dikenal. Kalau kita dengan demikian membuka pemikiran bagi transendensi yang tampak dengan Wajah, maka semua pengertian fundamental dari tradisi filsafat Barat harus dipikirkan kembali. Salah satu contoh ialah titik tolak bagi filsafat modern sejak Descartes, yaitu cogito atau kesadaran. Bagi Levinas bukan kesadaran (la conscience theorique) melainkan hati nurani (la conscience morale) merupakan titik tolak dan dasar filsafat. Bukan refleksi tentang diri saya menyingkapkan bagi saya aku yang sejati, melainkan kejutan yang saya alami dalam perjumpaan dengan Orang Lain. Di bawah ini kami kembali lagi pada pandangan Levinas tentang cogito ini.
Pemikiran Levinas tentang bahasa pula tidak dapat dilepaskan dari konteks filosofis yang sama. Di sini juga hanya dapat kami berikan beberapa catatan saja. Bahasa pada dasarnya ialah percakapan atau dialog dan dalam dialog itu saya menyapa sesama. Apa yang dibicarakan (tema percakapan) selalu dilatarbelakangi oleh orang yang disapa. Mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang. Tema dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Dari sebab itu orang lain sebenarnya tidak dapat menjadi tema. Saya memang dapat berbicara tentang dia, tetapi—kalau begitu—di balik tema ia masih tampil sebagai orang yang disapa. Dalam apa saja yang saya katakana, orang lain disapa, pun pula jika saya berbicara tentang dia. Hakikat Bahasa adalah interpelasi, penyapaan. Vocaticus mendasari indicaticus. Bahasa mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk menyampaikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan etika sebelum mempunyai kaitan dengan teori.
Pemikiran Levinas tentang Allah berhubungan erat dengan apa yang sudah kita lihat sampai sekarang. Dalam pendahuluan bukunya Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi ia mengatakan bahwa yang penting ialah mendengar suara Allah yang tidak dinodai oleh Ada. Maksudnya ialah bahwa Allah tidak dapat dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Dan itulah yang senantiasa diusahakan dalam filsafat Barat. Levinas mau membicarakan Allah dengan berpegang pada prinsipnya bahwa pengertian Baik terletak di seberang Ada. Dengan lain perkataan, ia ingin berbicara tentang Allah dalam rangka metafisika, di mana yang Tak Berhingga menampakkan diri dengan tampilnya Wajah. Dimensi ilahi membuka diri dalam Wajah Orang Lain, kata Levinas. Melalui Wajah Orang Lain saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan. Tetapi ini tidak berlangsung pada taraf pengenalan teoretis, melainkan dalam konteks praktek etis. Tuhan hadir bagi saya sejauh saya mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Relasi saya dengan Tuhan tidak dapat dilepaskan dari relasi etis saya dengan sesama. Mengenal Allah berarti mengetahui apa yang harus saya perbuat terhadap sesama. Sifat-sifat Allah tidak diberikan dalam modus indicaticus tetapi dalam modus imperativus. Allah itu murah hati berati Hendaklah engkau murah hati seperti Dia.
Sepatah kata lagi tentang hubungan antara kedua karya filosofis yang besar Totalitas dan Tak Berhingga dan Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi. Dalam karya kedua Levinas merumuskan pemikirannya dengan lebih radikal lagi. Kalau karya pertama di sana-sini masih terlalu dipengaruhi oleh pemikiran ontologis, maka karya kedua berusaha berpikir lebih konsekuen dalam suasana metafisis. Dalam hal ini ia memberanikan diri bergumul dengan kemungkinan dan ketidakmungkinan Bahasa kita, sebab Bahasa yang kita pakai dan mengerti masih diselimuti oleh alam pikiran ontologis. Dalam Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi secara khusus diusahakan untuk berpikir lebih radikal tentang subjektivitas. Kalau dalam karya yang pertama ia terutama memperhatikan dan menafsirkan tampilnya Wajah itu sendiri, sekarang ia khususnya menyoroti pertanggungjawaban yang dituntut karena penampakan Wajah tersebut. Soalnya ialah apakah subjektivitas masih dapat dimengerti sebagai kesadaran atau eksistensi? Ternyata tidak. Subjek bukanlah pour-soi (bagi dirinya), katanya sekarang, melainkan l’un pour-l’autre (seorang-untuk-orang-lain). Subjek menjadi subjek karena bertanggungjawab atas orang lain. Dimensi etis tidak ditambah pada suatu subjek yang sudah ada. Saya tidak lebih dulu sudah berdiri sendiri sebagai subjek dan baru kemudian bertanggung jawab. Saya tidak mengambil pertanggungjawaban; seolah-olah sebelumnya saya sudah ada sebagai subjek. Dalam pertanggungjawaban atas orang lain, saya dikonstitusikan sebagai subjek. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja. Tetapi menurut Levinas, saya bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, malah saya bertanggungjawab atas pertanggungjawaban orang lain itu. Mendengar semuanya ini tidak sedikit orang segera akan bertanya: tetapi apakah orang lain itu sendiri tidak bertanggungjawab? Levinas akan menjawab: barangkali, tetapi itu urusannya sendiri; jangan kita lupa, relasi etis itu asimetris.
Dalam konteks ini kerap kali Levinas menggunakan suatu pengertian yang amat sulit, yaitu substitution (mengganti tempat orang lain; menjadi sandera bagi orang lain). Bab IV dari Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi membicarakan substitusi ini dan menurut keterangan Levinas dalam pendahuluan itulah bagian sentral bukunya. Maksudnya barangkali dapat dijelaskan sebagai berikut. Saya bertanggung jawab atas orang lain, malah saya bersalah (dalam arti guilty) karena perbuatan orang lain. Dalam pemikiran ontologis tidak ada tempat untuk pengertian seperti substitusi itu. Ontologi hanya mengenal dilema: menguasai atau menaklukkan diri, tuan atau hamba. Bagi ontologi pertanggungjawaban didasarkan pada kebebasan: pertanggungjawaban tidak melebihi batas-batas kebebasan. Bagi ontologi saya hanya bertanggungjawab atas diri saya sendiri. Tetapi--kalau tetap begitu--menurut Levinas persaudaraan universal tidak dapat diharapkan. Pertanyaan dari Kain memang harus dijawab afirmatif. Apa yang tidak dapat dipikirkan oleh ontologi merupakan kenyataan juga. Sebagai contoh beberapa kali Levinas menunjuk kepada protes kaum muda pada tahun 70-an melawan ketidakadilan dalam dunia (dan untuk itu mereka tentu tidak bersalah dalam arti ontologi). Menurut Levinas pertanggungjawaban saya tidak dapat diukur menurut kebebasan saya. Saya juga bertanggung jawab atas apa yang tidak saya perbuat, malah atas apa yang diperbuat orang terhadap saya. Aku adalah Mesias, katanya dalam Kebebasan Penuh Kesukaran. Demikian, dengan mencari inspirasi pada paham alkitabiah tentang Mesias yang menderita bagi orang lain (Yesaya 53), ia berusaha memberikan suatu pendasaran filosofis bagi subjektivitas yang sama sekali berlainan dari cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seorang-untuk-orang-lain. Cogito ergo sum dari Descartes seharusnya diganti dengan Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).
Sebagaimana Levinas sering menunjuk kepada contoh-contoh dari bidang sastra untuk menjelaskan pemikiran filosofisnya, demikian juga bila ia berbicara tentang substitusi. Ia mengutip penyair Jerman, Paul Celan, yang antara lain mengatakan Ich bin du, wenn ich ich bin (Aku adalah engkau, bila aku adalah aku). Dan lebih menarik lagi, ia menunjuk kepada buku novel karangan Dostoyevsi Karamazov Bersaudara di mana Starets (rahib) Zosima mengatakan: Setiap orang di antara kita bersalah terhadap semua orang lain dan saya lebih bersalah daripada siapa pun. Tetapi sang Starets ditertawakan oleh para pendengarnya: Masakan saya bersalah terhadap setiap orang lain--seorang di antara mereka katakan--; apakah misalnya kebersalahan saya terhadap anda?. Anggapan tentang subjektivitas ini memang tidak cocok dengan pemikiran yuridis kita yang selalu menyetarafkan pertanggungjawaban dengan kebebasan. Dalam hal ini Levinas tidak bermaksud mengatakan bahwa substitusi merupakan suatu kewajiban umum. Maksudnya ialah menggambarkan situasi manusiawi yang khas etis di mana tampak suatu dimensi dalam subjektivitas yang belum pernah dipikirkan dalam filsafat Barat. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa relasi etis ditandai oleh asimetri: relasi ini tidak dapat dibalik. Sayalah yang bertanggung jawab bukan saja atas perbuatan-perbuatan saya, tetapi juga atas perbuatan-perbuatan orang lain; tetapi saya tidak dapat mengatakan bahwa orang lain bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan saya. Memang benar seperti yang dikatakan Starets: Saya lebih bersalah daripada siapa pun.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Emmanuel Levinas. Biografi
1. Emmanuel Levinas. Pemikiran Filosofis
Post a Comment