Hermeneutika produktif Hans Georg Gadamer

Table of Contents
Kata hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo: mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, menerjemahkan. Baru dalam abad ke-17 dan ke-18 istilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Dalam filsafat dewasa ini istilah hermeneutika dipakai dalam suatu arti yang sangat luas dan meliputi hampir semua tema filosofis yang tradisional, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Pada pokoknya filsafat ini berefleksi tentang mengerti (verstehen). Filsafat sebagai hermeneutika membahas pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini. Apakah itu mengerti ? Apakah yang terjadi, jika kita manusia menjalankan pengertian ? Dan apakah yang harus diandaikan supaya pengertian itu mungkin? Dalam hal ini Gadamer meneruskan suatu pendirian Heidegger.
Hermeneutika produktif Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer
Dalam buku ada dan waktu Heidegger telah memperlihatkan bahwa mengerti tidak merupakan salah satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Namun, mengerti harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa mengerti itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri.

Mengerti menyangkut seluruh pengalaman manusia. Justru karena itulah hermeneutika mempunyai suatu problematik yang sama sekali universal. Maka dari itu dapat dipahami, jika sudah pernah dikemukakan orang bahwa pemikiran Gadamer bukan saja merupakan suatu hermeneutika filosofis, melainkan juga suatu filsafat hermeneutis. Maksudnya ialah pemikiran Gadamer ini tidak memusatkan perhatiannya pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutis), sambil melewati banyak tugas lain yang mungkin juga, dengan pemikirannya tersebut memandang semua tema yang ada bagi filsafat dari suatu segi yang tertentu, yaitu hermeneutika.


Seperti sebelumnya sudah pernah diterangkan oleh Heidegger, Gadamer menekankan juga bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti, sudah harus ada pengertian. Untuk mencapai pengertian, satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Kalau tidak, sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Tetapi di lain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Heidegger dan Gadamer disebut lingkaran hermeneutis. Tetapi tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkaran itu baru timbul jika kita kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sudah terdapat pada tarap yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri. Mengerti dunia hanya mungkin, kalau ada prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri. Tetapi lingkaran ini tidak merupakan suatu lingkaran setan, melainkan justru memungkinkan eksistensi kita.

a. Hermeneutika kesenian
Gadamer mengawali bukunya dengan menganalisis kesenian secara hermeneutis. Ia memperlihatkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan juga dalam penilaian manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lain, misalnya pengalaman estetis. Ilmu pengetahuan mulai memonopoli pengenalan objektif, sehingga pengalaman tentang karya-karya seni hanya bisa diinterpretasikan sebagai objektif belaka. Hal ini dapat kita saksikan dalam filsafat kesenian Kant dalam abad ke-18. Karya seni tidak lagi menyingkapkan kebenaran bagi kita, tetapi menyediakan kesenangan dalam memandang yang bagus.

Tendensi ini sesudah Kant diteruskan lagi. Tetapi Gadamer berpendapat bahwa dengan demikian pengalaman estetis menjauhkan diri dari realitas dan ia ingin memperlihatkan bahwa karya seni betul-betul menyingkapkan kebenaran kepada kita dan membuat kita mengerti. Karena itu kesenian pun termasuk wilayah hermeneutika, sejauh hermeneutika membicarakan bagaimana manusia mencapai pengertian tentang ada.

Sebagaimana pengalaman estetis menjadi suatu kawasan tersendiri dalam usaha menyelamatkan diri terhadap ancaman yang berasal dari ilmu pengetahuan alam, demikian pun ilmu pengetahuan budaya telah mencoba untuk mencari suatu sikap terhadap ilmu pengetahuan alam. Tetapi ilmu pengetahuan budaya ini, yang mulai berkembang dalam abad ke-19, memilih suatu jalan yang bertentangan dengan pengalaman estetis, yaitu dengan mengambil alih status ilmu pengetahuan alam. Bagi Gadamer, jalan yang ditempuh ilmu pengetahuan budaya ini adalah jalan buntu. Dalam bagian kedua bukunya, Gadamer berusaha menganalisis pengertian (verstehen) yang dijalankan dalam ilmu pengetahuan budaya.

b. Hermeneutika ilmu pengetahuan budaya
Kita memandang beberapa detail dalam analisis Gadamer tentang pengertian yang berperanan dalam ilmu pengetahuan budaya (geisteswisenschaften). Sebagai contoh istimewa dalam bidang ini dapat disebut ilmu sejarah. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu sejarah senantiasa berusaha untuk membicarakan tentang sejarah dengan memilih tempatnya di luar sejarah. Hermeneutika yang dipraktekan dalam ilmu sejarah itu, mau merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarawan sendiri. Hermeneutika ini berasal dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Bagaimana dapat saya mengerti suatu teks yang berasal dari waktu lampau, jauh dari waktu di mana saya hidup sekarang? Atau, jika teks tersebut tidak berasal dari zaman yang jauh dari saya sekarang ini, tinggal lagi pertanyaan, bagaimana dapat saya mengerti suatu teks (surat, laporan atau dokumen lainya) yang berasal dari orang lain?

Pokoknya bagaimana mengerti suatu teks yang asing terhadap saya sebagai pembaca? Bagaimana mungkin untuk menjembatani keasingan teks itu? Dalam hal ini Schleiermacher menyadari bahwa keasingan itu tidak berarti keasingan total. Seandainya suatu teks seratus persen asing bagi saya, masalah mengerti tidak akan timbul juga. Masalah hermenutis ditampilkan juga karena suatu teks tidak sama sekali asing, tidak sama sekali biasa bagi si pembaca. Menurut Schleiermacher, keasingan suatu teks harus diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang. Dengan lain perkataan, bagi Schleiermacher interpretasi suatu teks adalah interpretasi psikologis.

Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, perlu saya keluar dari zaman di mana saya hidup sekarang, merekontruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan di mana pengarang berada pada saat ia menulis teksnya. Saya harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang dulu ditujukan oleh teks bersangkutan, dan dengan demikian menjadi kawan sewaktu dengan si pengarang. Bila saya sudah menjadi kawan sewaktu dengan dia, tidak sulit untuk melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan diri dengan si pengarang. Untuk itu saya bayangkan bagaimana pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang. Saya seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang itu. Baru melalui jalan itu dapat saya mengerti teks di mana tampak pemikiran, perasaan dan maksud tersebut.

Di kemudian hari Wilhelm Dilthey (1833-1911) telah meneruskan dan meneguhkan hermeneutika Schleiermacher ini. Bagi Dilthey pun tugas hermeneutika ialah mengatasi keasingan suatu teks. Saya tidak dapat menghayati (erleben) secara langsung peristiwa-peristiwa dari masa lampau, tetapi saya dapat membayangkan bagaimana orang dulu menghayati peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben). Ia mengemukakan contoh yang menjadi terkenal. Jika dewasa ini kita membaca surat-surat Luther, maka kita dikonfrontasikan dengan peristiwa-peristiwa religius dari masa lampau yang terlalu emosional dan bergejolak untuk dapat dihayati oleh orang modern. Kita tidak sanggup menghayati peristiwa-peristiwa itu, tetapi kita dapat membayangkan bagaimana Luther sendiri menghayati peristiwa-peristiwa tersebut.

Dilthey membedakan mengerti dan menjelaskan. Menjelaskan (erklaren, to explain) adalah metode yang khas bagi naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam), sedangkan mengerti (verstehen, to understand) adalah metode yang menandai Geisteswisenschaften (ilmu pengetahuan budaya). Kant dulu secara filosofis telah mengesahkan metode ilmu pengetahuan alam, tetapi ilmu pengetahuan budaya masih tetap menunggu pendasaran filosofisnya. Maksud Dilthey ialah mengisi kekurangan ini dengan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan budaya yang berdasarkan metode mengerti tidak perlu kalah dengan ilmu pengetahuan alam. Tentu saja, ada perbedaan juga antara dua jenis ilmu pengetahuan ini.

Ilmu pengetahuan alam tidak berbicara tentang yang khusus dan yang kebetulan, tetapi hanya memperhatikan yang umum dan yang terikat menurut hukum, sedangkan ilmu pengetahuan budaya (khususnya ilmu sejarah) mempelajari kejadian-kejadian menurut individualitasnya. Kalau ilmu pengetahuan budaya tidak berbicara tenang yang umum dan terikat menurut hukum, bagaimana ilmu pengetahuan ini dapat mencapai objektivitas? Dilthey menjawab: Karena saya ini suatu makhluk historis, sehingga orang yang mempelajari sejarah sama dengan orang yang mengadakan sejarah. Maksudnya bahwa dalam ilmu pengetahuan budaya subjek dan objek mempunyai kodrat yang sama, sehingga subjek itu sanggup untuk mengatasi keterbatasan historisnya. Sejauh manusia melepaskan diri dari zamannya sendiri, ia membuka diri untuk mengerti secara luas. Sejauh ia meninggalkan situasi historisnya, sejauh itu juga objektivitas ilmu pengetahuan budaya semakin terjamin.

Apakah yang dapat disimpulkan dari pandangan Schleiermacher dan Dilthey ini? Bagi mereka, mengerti suatu teks adalah menemukan arti yang asli dari teks tersebut, dengan kata lain, menampilkan apa yang dimaksudkan pengarang bersangkutan, yaitu pikiran-pikiran, pendapat-pendapatnya, visi orang tersebut: pendeknya, perasaan-perasaan dan maksud-maksudnya. Karena itu seorang interpretator harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah, di samping mempunyai bakat sebagai psikolog. Bagi Schleiermacher dan Dilthey interpretasi suatu teks merupakan suatu pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dari suatu teks ialah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh si pengarang. Interpretasi adalah suatu rekonstruksi. Oleh Gadamer pandangan tentang hermeneutika ini disebut pandangan romantis, artinya pandangan yang menandai zaman Romantik.

Karena setiap metode mempunyai praandaian-praandaian (persupositions) tertentu, dapat ditanyakan praandaian-praandaian mana terdapat dalam metode yang dijalankan oleh hermeneutika romantis (dan jangan lupa bahwa sekarang juga hermeneutika ini masih dianut oleh banyak ahli filologi, ilmu sejarah, dan pada umumnya orang-orang yang menginterpretasikan teks-teks dari masa lampau). Praandaian utama yang terdapat dalam hermeneutika romantis ialah bahwa seorang interpretator sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat pindah ke zaman lain. Ia bisa menjadi kawan sewaktu dengan setiap periode. Jadi, si interpretator sendiri dianggap tidak terikat dengan suatu horison historis. Praandaian pokok ini meliputi dua praandaian lebih lanjut lagi, yaitu praandaian tentang cara pengenalan manusia dan tentang kodrat ada, dengan perkataan lain, suatu praandaian epistemologis dan suatu praandaian metafisis.

Tentang cara pengenalan manusia diandaikan begitu saja bahwa manusia dapat menjalankan suatu pengenalan yang tak berhingga, sebab pada prinsipnya ia dapat menjadi kawan sewaktu dengan setiap zaman dan mengatasi segala keterbatasan. Yang mengherankan ialah bahwa pendirian ini masih terdapat pada Dilthey, sebab filsuf ini menginsafi kekhususan sejarah dan keterlibatan setiap teks atau pengarang dalam suatu konteks historis. Dan secara eksplisit ia mengakui bahwa keterlibatan ini mengakibatkan keberhinggaan manusia. Namun demikian, di lain pihak ia mengandaikan juga bahwa si sejarawan dapat melepaskan diri dari sifat berhingga itu dan mengatasi segala batas historis. Di samping itu terdapat praandaian juga tentang Ada sendiri. Ada disamakan dengan kehadiran, sebab pada setiap saat Ada itu dapat dihadirkan. Dengan demikian dimensi waktu lampau dan waktu depan sama sekali lenyap dari pandangan kita.

Gadamer tidak menutup mata bagi jasa-jasa hermeneutika romantis, tetapi ia melihat juga kelemahan-kelemahan di dalamnya. Dan bagi kita di sini hanya penting memperkenalkan kritik itu. Keberatannya yang pertama menyangkut pendapat mereka bahwa hermeneutika bertugas menemukan arti yang asli dari suatu teks. Bagi Gadamer interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang oleh si pengarang diletakan di dalam teks itu. Bagi Gadamer arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang dengan teks tersebut. Karena itu interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi produktif. Interpretasi dapat memperkaya arti suatu teks.

Tidak terlepas dari keberatan yang pertama tadi, keberatan berikut menyangkut pendapat hermeneutika romantis tentang waktu. Kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Mustahilah setiap usaha untuk menjembatani jurang antara waktu kita dan waktu si pengarang. Tetapi usaha macam itu tidak perlu juga. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu teks tersebut ditulis), tetapi mempunyai keterbukaan juga terhadap masa depan. Dari sebab itu menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak pernah selesai. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri. suatu interpretasi definitif tidak dapat diharapkan.

Maksud Gadamer dapat menjadi jelas, jika kita mendengar pendiriannya bahwa penerapan (application) merupakan suatu unsur yang termasuk interpretasi sendiri. Untuk menerangkan maksudnya ia menunjuk pada pekerjaan seorang hakim. Seorang hakim tidak mengadili menurut hukum yang berlaku di wilayahnya dan secara ketat ia harus berpegang teguh pada hukum itu. Jadi, pekerjaannya ialah menerapkan undang-undang yang bersifat umum pada kasus-kasus konkret yang beraneka ragam. Gadamer berpendapat bahwa undang-undang itu baru dimengerti dalam dan dengan menerapkannya pada kasus-kasus konkret. Tidak dapat dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari secara penuh arti ketetapan-ketetapan dalam undang-undang, lalu menerapkannya dalam kasus-kasus konkret. Tetapi baru dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti artinya, terutama bila penerapannya itu menyangkut situasi-situasi baru yang belum dikenal ketika undang-undang dirumuskan. Akibatnya pekerjaan seorang hakim tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif (menambah arti). Demikian, apa yang berlaku bagi hermeneutika yuridis berlaku juga untuk setiap macam hermeneutika. Pengertian kita diperkaya dengan menerapkan suatu teks pada situasi-situasi baru. Menurut Gadamer, pengertian, interpretasi, dan penerapan merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengertian selalu merupakan interpretasi juga; dan interpretasi selalu merupakan penerapan juga.

Dalam rangka pemikiran Gadamer, masuk akal saja jika ia ingin merehabilitasikan dua kata yang mempunyai nada kurang baik sejak masa pencerahan, yaitu tradisi dan prasangka. Marilah kita mulai dengan yang terakhir. Hermeneutika romantis mau menghindari setiap prasangka. Bagi mereka prasangka (prejudice) hanya mempunyai arti yang kurang baik. Oleh mereka prasangka dipertentangkan dengan kebenaran. Menurut Gadamer, pengenalan kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Menghindari setiap prasangka sama dengan mematikan pikiran. Dengan prasangka tidak berarti bahwa interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif saja dan tidak kritis. Justru sebaliknya, sebanyak mungkin harus kita sandarkan prasangka-prasangka yang menjuruskan pemikiran kita, tetapi adalah naif sama sekali jika kita merasa sanggup mengambil sikap tertentu tanpa prasangka apapun. Itulah sebabnya interpretasi baru menyingkirkan prasangka-prasangka kurang baik dari masa lampau tetapi menerima begitu saja prasangka-prasangka yang baik dan wajar.

Jadi kita harus membedakan antara prasangka-prasangka legitim dan prasangka-prasangka yang tidak legitim, antara prasangka-prasangka yang sah dan prasangka-prasangka yang tidak sah. Prasangka-prasangka tidak legitim harus disingkirkan dan pengetahuan kita akan maju justru sejauh kita berhasil dalam mengatasi prasangka-prasangka tidak legitim tersebut. Tetapi prasangka-prasangka legitim harus diterima, sebab prasangka-prasangka legitim ini merupakan dasar yang memungkinkan pemikiran itu sendiri.

Sekarang kita dapat mengerti juga mengapa kata tradisi sepatutnya diberi suatu arti positif. Sebelum masa pencerahan kata tradisi (dan prasangka juga) tidak mempunyai nada peyoratif. Baru pada waktu pencerahan, otoritas yang dijunjung tinggi dalam tradisi dipertentangkan dengan kritik rasio. Bagi Gadamer tidak ada keberatan untuk mengakui otoritas suatu tradisi. Tradisi dibentuk oleh prasangka-prasangka yang kita miliki bersama (maksudnya prasangka-prasangka yang benar), biasanya tanpa disadari.

c. Bahasa
Dalam bagian ketiga bukunya, Gadamer membahas masalah bahasa. Mengerti tidak mungkin tanpa bahasa. Dan karena mengerti bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks dari masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka harus disimpulkan bahwa masalah bahasa mempunyai relevansi ontologis. Dalam konteks ini Gadamer merumuskan suatu perkataan yang sering dikutip dan dikomentari: sein, das verstanden werden kann, ist sprache (Being that can be understood is language). Dalam perkataan ini diungkapkan cara bagaimana Ada tampak kepada manusia. Jika Ada menampakkan diri bagi manusia, terjadilah sesuatu. Jika Ada tampak bagi manusia, dikatakan sesuatu. Ada menampakkan diri sebagai bahasa. Dengan perumusan lain dapat dikatakan juga bahwa dalam situasi hermeneutis Ada tampak sebagai percakapan, sebagai dialog. Mengerti itu sama dengan mengadakan percakapan dengan yang ada; suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu.

Pemikiran Gadamer tentang bahasa merupakan bagian filsafatnya yang paling sulit dan paling banyak menimbulkan tanda tanya. Di sini kami berusaha menggoreskan beberapa garis saja dari pemikiran tentang bahasa yang amat kaya ini. Dalam hubungannya dengan bahasa salah satu hal yang sering ditekankan Gadamer ialah bahwa bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran tetapi bahasa adalah objek itu sendiri. Dalam ini ia bereaksi melawan setiap pandangan idealitas tentang bahasa. Menurutnya, bahasa berbicara tentang benda-benda dalam dunia, tidak boleh dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subjektif yang menghalangi hubungan kita dengan benda-benda. Tentu saja, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek dengan tuntas. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan bahasa, melainkan oleh keberhinggaan subjek manusiawi.

Demikian, banyak problem tentang bahasa tidak dapat dipecahkan, jika orang berpegang teguh pada pendirian bahwa bahasa merupakan alat saja. Tentu saja, bahasa adalah suatu alat komunikasi dalam pergaulan antar manusia. Tetapi hal ini tidak boleh dianggap makna terdalam bahasa. Bahasa adalah lebih dari daripada suatu sistem tanda-tanda saja. Pendirian yang beranggapan demikian bertitik tolak dari adanya kata-kata dan memandang objek-objek sebagai sesuatu yang kita kenal lewat sumber lain. Tetapi objek dan kata tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengalaman kita tidak mulai dari kata-kata. Dalam pengalaman kita, tidak dicari suatu kata untuk menunjukkan objek-objek yang sudah dialami. Kalau kita mencari kata yang tepat (seperti yang sudah sering terjadi), itu tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk menunjukkan objek yang sudah hadir serba lengkap, melainkan bahwa objek belum nampak sepenuh-penuhnya. Antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi Gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.

Baca Juga
1. Hans Georg Gadamer. Biografi dan Karya
2. Dilthey, Gadamer, dan Hermenutika 
3. Hermeneutika dan Ilmu-ilmu Sosial
4. Sejarah Hermeneutika
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment