Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche

Table of Contents
Ketika Paul Raymond Harrison melacak jejak pemikiran filsafat dan sosiologinya Friedrich Nietzsche dalam karya-karya tulis lain, ia mendapati karya Nietzsche (1844-1900) menjadi pusat perhatian filosofis dan sosiologis di sepanjang dua dasawarsa belakangan ini. Pemikiran Nietzsche senantiasa diulas dalam pembicaraan-pembicaraan filsafat karena pengaruh kajian Heidegger mengenai pentingnya Nietzsche dalam sejarah metafisika Barat. Di samping itu, nama Nietzsche pun selalu disebut dalam berbagai telaah sosiologi disebabkan penerimaan atas sejumlah gagasan oleh Max Weber. Namun demikian, pengaruh tersembunyi pemikiran Nietzsche terhadap filsafat maupun sosiologi itu mungkin justru bisa menghalangi upaya untuk menyimak kembali pemikiran Nietzsche secara langsung.
Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche
Memang ada sejumlah dalih politis kecenderungan untuk merepresi pemikiran Nietzsche, terutama dalam konteks upaya kembali ke demokrasi liberal dan keyakinan terhadap rasionalisme sejarah di masa pascaperang. Optimisme pascaperang tersebut kini telah menguap dan pemikiran Nietzsche kembali mencuat dalam pembahasan-pembahasan tentang datangnya sejumlah akhir. Kesan tentang datangnya suatu akhir itu sudah muncul selama dua dasawarsa belakangan ini. Dalam teori sosial terdapat perbincangan tentang akhir modernitas; dalam bidang politik ada pembahasan tentang akhir sejarah; dalam seni ada pembahasan tentang berakhirnya modernitas; dan dalam filsafat juga ada pembahasan tentang berakhirnya filsafat atau setidaknya jenis filsafat tertentu. Dalam konteks ini, terjadilah gerakan kembali ke Nietzsche sebagai pemikir tentang akhir.

Dua penerimaan terpenting atas karya Nietzsche di masa mutakhir ini semuanya berlangsung di dalam konteks yang biasa disebut pemikiran poststrukturalis Prancis dan dalam konteks berakhirnya strukturalisme. Sementara dalam karya Foucault, konsep Nietzschean tentang genealogi adalah yang mendapat perhatian. Suatu genealogi berupaya melacak munculnya diskursus-diskursus secara kontingen yang bersumber dari relasi-relasi kekuatan dan kekuasaan yang mengendalikan penciptaannya. Dalam pemikiran Foucault Nietzsche diterima terutama sebagai pemikir tentang kekuasaan.

Sedangkan dalam karya Derrida, yang mendapat perhatian adalah dekonstruksi Nietzschean terhadap ide tentang kebenaran serta sejarah metafisika. Di sini hakikat kontingen ide-ide metafisika yang ditekankan, kendatipun dalam pemikiran Derrida implikasi ide tersebut membawa pada diterimanya Nietzsche sebagai pemikir tentang disimulasi.

Dua penerimaan atas pemikiran Nietzsche tersebut ada kaitannya dengan pemilahan yang terdapat dalam pemikiran Nietzsche, yakni antara dimensi kultural-kritisnya, yang menimbulkan pengaruh kuat terhadap teori sosial, serta dimensi metafisikanya, yang lebih relevan dengan situasi pemikiran pasca-metafisika. Dalam pemikiran Nietzsche, kedua dimensi tersebut tersatukan dalam konsep kekuasaan.

Tema kekuasaan itu tampil dalam karya-karya kultural-kritis Nietzsche sebagai sesuatu yang mendasari munculnya kepentingan-kepentingan ideal yang merupakan matriks-matriks generatif bagi kompleks-kompleks kultural, sedangkan dalam karya-karyanya yang lebih metafisik, kekuasaan sebagai kehendak-akan-kekuasaan tampil sebagai prinsip bagi semua kreativitas kultural demikian tadi. Dengan kata lain, gagasan tentang kekuasaan berfungsi untuk menjabarkan kebudayaan baik sebagai produk dari yang non-kultural maupun sebagai satu kekuatan estetiko-puitik yang dikendalikan secara karismatik yang mendasari seluruh eksistensi.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Baca Juga
1. Friedrich Nietzsche. Biografi
2. Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Truth
3. Friedrich Nietzsche. The Death Of God 
4. Friedrich Nietzsche. Mazhab Nihilisme
5. Friedrich Nietzsche
6. Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa
7. Friedrich Nietzsche. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment