Kajian Budaya Punk (Youth Subculture) Dick Hebdige
Table of Contents
Budaya Punk |
Perhatian pada budaya kaum muda tersebut juga didekati dari kemapanan moral dan politik. Hal tersebut merupakan pendekatan yang paling umum dan banyak membantu para pemegang otoritas baik politik maupun moral. Kebangkitan budaya kaum muda dengan berbagai bentuk ekspresinya, dengan berbagai kelompok dan karakternya masing-masing sering menggelisahkan para penjaga kemapanan moral dan sosial. Dalam sosiologi budaya, kegelisahan tersebut tercakup dalam konsep kegelisahan moral.
Kaum muda ditempatkan sebagai korban dan sekaligus pelaku kegelisahan moral. Sebagai korban, kaum muda ditempatkan sebagai akibat dari budaya modern (terutama pers) yang sangat kokoh dalam mempengaruhi orang-orang muda. Sebagai penyebab, kaum muda ditempatkan sebagai kelompok yang menggoncang tatanan sosial dan merisaukan ketenangan masyarakat. Oleh karena itu penelitian budaya kaum muda biasanya berakhir pada jalan keluar untuk melakukan kontrol sosial pada kaum muda sehingga mempunyai disiplin sosial. Para sosiolog yang berminat pada subkultur biasanya menelitinya dari sisi integrasi dan koherensi.
Entah sengaja atau tidak, langkah-langkah pembuatan teori dalam Subculture mirip dengan langkah-langkah dalam Mythologies karya Barthes. Bagian pertama (some case studies) berisi kasus-kasus empiris dan bagian kedua (a reading) berisi teoritisasi atas kasus-kasus tersebut. Kalau pada bagian kedua dari Mythologies Barthes menghasilkan teori tentang mitos, pada bagian kedua dari Subculture Hebdige menghasilkan sebuah teori tentang subkultur. Teoretisasi ini banyak menggunakan kategori-kategori semiotik Barthesian.
Kepentingan Hebdige melakukan teoritisasi subkultur ialah pengakuan pada budaya kelompok-kelompok sosial yang selama ini tersisihkan seperti kelompok-kelompok anak muda yang tidak tunduk pada bentuk-bentuk budaya yang sudah mapan, seperti kelompok kulit hitam dan kelas pekerja. Pengakuan tersebut ia lakukan dengan jalan mencurigai kategori-kategori yang selama ini sudah diterima umum dalam memahami subkultur. Kategori-kategori tersebut biasanya menempatkan subkultur dan kelompok pendukungnya sebagai budaya dan kelompok deviant dan oleh karena itu perlu didisiplinkan oleh lembaga-lembaga yang berwenang seperti polisi, sekolah dan lain sebagainya.
Dalam penelitiannya Hebdige ingin membiarkan mereka menjadi apa adanya sejauh itu semua memberikan makna pada pengalaman mereka dan mengungkapkan identitas mereka, karena budaya pada hakikatnya adalah semua bentuk pengungkapan yang menata pengalaman suatu kelompok menjadi bermakna. Untuk mendekati gejala subkultur anak muda tersebut, Hebdige tidak memulainya dengan mengeksplorasi nilai. Sebaliknya, ia memulai dengan memperhatikan hal-hal sepele yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah atau buangan. Agar hal-hal sepele ini menampakkan koherensi dan maknanya, Hebdige melakukan simulasi pemaknaan. Dari hasil simulasi tersebut ia menemukan makna ganda, kehadiran yang menggelikan sekaligus mengancam dan tanda-tanda identitas terlarang.
Berkaitan dengan kedudukan subkultur anak muda yang cenderung ditempatkan sebagai budaya devian, Hebdige melihat bahwa semiotika Barthesian bisa dipakai sebagai metode purgatorio. Seperti diketahui, tahap purgatorio merupakan tahap sebelum seseorang mencapai tahap kenikmatan puncak. Bagi Hebdige pengalaman akan paradiso ini muncul saat orang tidak lagi didikte oleh pendapat umum yang cenderung memojokkan subkultur. Dilihat dari perspektif para pendukung subkultur, pengalaman paradiso dicapai saat bentuk-bentuk ekspresif mereka (entah itu berupa musik, pakaian, tatoo dan lain sebagainya) mengungkapkan sebuah identitas dan berbicara atas nama mereka sendiri. Dengan kata lain, bentuk-bentuk ekspresif ini tidak lagi dibaca sebagai identitas terlarang dari kelompok devian.
Lebih lengkapnya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pendekatan semiotika dalam kajian budaya yang dipraktekan Hebdige, Pertama, semiotika dipakai Hebdige untuk membaca gejala punk sebagai subkultur. Punk sebagai subkultur masih harus ditunjukkan lewat pembacaan, Hebdige menunjukkan subkultur punk tersebut lewat pembacaan teori mitos Barthesian. Demikian, Hebdige menentukan ciri-ciri mitos dalam subkultur punk, di antaranya meliputi komunikasi intensional, bricolage, homologi, dan akhirnya praktik yang menghasilkan makna (signifying practices). Kalau kultur kita sejajarkan dengan langue, maka subkultur dapat disejajarkan dengan parole. Sebagaimana diketahui seseorang atau kelompok masyarakat bisa menghasilkan parole dengan jalan menggunakan langue yang ada. Parole tersebut muncul karena kebutuhan tertentu, yaitu untuk mengungkapkan kepentingan subjek.
Bagaimana gejala punk (lewat musik, pakaian, kebiasaan dan sebagainya) disebut parole bagi pendukungnya? Hebdige menunjukkan bahwa subkultur tersebut tidak semata noise melainkan sound, artinya subkultur tersebut tidak hanya sekedar kebisingan melainkan suara yang disengaja untuk komunikasi, halnya dengan subkultur punk. Hebdige mengamati bahwa dalam punk termuat bentuk-bentuk distorsi dari semua subkultur yang muncul sejak Perang Dunia Kedua. Bentuk-bentuk distorsi ini secara sepintas memang tidak lebih daripada sampah, buangan, deviansi budaya semata. Akan tetapi, kalau ditelusuri asal-usulnya dan dibaca secara teliti, Hebdige menemukan bahwa kumpulan distorsi tersebut bisa menghasilkan sound. Demikian, ada banyak kemungkinan untuk merespons perkembangan budaya sejak Perang Dunia Kedua, kelompok punkers mempunyai caranya tersendiri.
Dengan bekal teori mitos tersebut Hebdige berbicara tentang subkultur punk lewat hal-hal yang sepele dan mengolahnya sampai ia menemukan makna ganda. Makna ganda tersebut berupa tanda-tanda yang bisa mengancam apa saja yang sudah mapan, tapi pada waktu yang sama juga menemukan suatu identitas dalam arti yang sebenarnya (walaupun identitas tersebut barangkali dilarang). Makna ganda tersebut ditemukan dalam tanda-tanda yang dikumpulkan secara eklektik, diambil dari mana saja dan disatukan dalam ikatan yang tidak wajar. Unsur-unsur simbol tersebut serba disalahtempatkan. Dikalangan para punkers, pengamatan Hebdige meliputi potongan rambut dan gaya berpakaian, musik, cara menari, performance, dan bahkan tempat pertunjukan, hasilnya kita menemukan bentuk utuh dari punk sebagai style, ideologi para pendukung punk dan identitas kelompok budaya punk.
Kedua, kajian semiotika tidak pernah bisa berdiri sendiri, dalam subkultur semiotika pertama-tama dikomunikasikan dengan sosiologi guna meneliti asal-usul terbentuknya kelompok sosial pendukung subkultur punk (yaitu kelas pekerja kulit putih) dan hubungannya dengan kelompok-kelompok lainnya (kelas atas kulit putih, kelas pekerja kulit berwarna. Secara khusus, semiotika dalam subkultur dikomunikasikan dengan sosiologi deviansi yang selama ini dipakai untuk meneliti subkultur.
Untuk mengidentifikasi kelompok punkers secara sosiologis, Hebdige menelusuri kelompok-kelompok pendukung berbagai subkultur di Inggris sejak Perang Dunia II (seperti reggae, rockers, mods dan skinheads). Munculnya kelompok-kelompok subkultur tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua gelombang imigrasi (eksodus) dari West Indies ke Inggris (Mother Country). Gelombang pertama terjadi pada tahun 1950-an yang terdiri dari orang-orang yang relatif lebih siap untuk mencari pekerjaan dan gelombang kedua pada tahun 1960-an yang terdiri dari orang-orang yang kurang siap memasuki pasar kerja dalam masyarakat industri. Gelombang kedua inilah yang menghasilkan subkultur reggae yang lahir dari situasi yang sarat dengan rasa frustasi dan rasa kangen akan tanah airnya.
Penetrasi budaya para imigran dengan subkulturnya tersebut mengundang respons tidak simpatik bahkan permusuhan dari kelompok kaum muda tuan rumah atau kulit putih. Mereka menunjukan rasa anti-pati mereka dengan semangat ultra kanan (neo-Nazisme, neo-Fasisme dan semacamnya) karena alasan yang jelas, perasaan terancam. Kelompok kanan ini menghasilkan subkultur teddy boys dengan dandisme dan skinnheads. Hebdige hubungan antarkelompok tersebut secara hierarkis melainkan secara organik, dan penelusuran sosiologis atas kelompok punkers tersebut niscaya sangat bermanfaat guna melihat konteks sosial dihasilkannya tanda-tanda.
Ketiga, semiotika juga dipakai bersama dengan teori ideologi yang dalam hal ini teori ideologi Althuserian (dan tentu saja Marx dan Gramsci). Dari teori ideologi Althuserian (atau persisnya Gramsci), diadopsi kategori-kategori seperti hegemoni, common sense, naturalisasi dan lain sebagainya. Teori ideologi mengatakan bahwa apa yang nampaknya biasa, natural, lumrah sebenarnya memendam ketidaksadaran akan suatu distorsi. Apa yang tampaknya biasa, sudah diterima umum ternyata sudah mengandung muatan ideologis, yaitu ideologi dominan. Dalam kasus para punkers, media massa sangat berperan dalam menaturalisasi pandangan negatif posisi devian.
Lewat teori ideologi, Hebdige menemukan bahwa punk adalah subkultur kaum muda yang kental dengan kesadaran kelas (kelas pekerja) dan etnik (kulit putih). Di mana kesadaran kelas kaum muda tersebut tidak bisa disamakan begitu saja dengan kesadaran kelas orang tua mereka. Anak-anak muda ini memilih bentuk-bentuk ekspresinya sendiri untuk mengungkapkan kesadaran kelas mereka dan bentuk-bentuk tersebut berbeda dengan yang selama ini dipakai oleh orang tua mereka. Dengan demikian yang lain (other) yang didefinisikan oleh subkultur ini berada baik di dalam kelas (orang tua) maupun di luar kelas (kelas atas).
Untuk meneliti kesadaran ideologis para punkers, kita bisa melihat basis sosial mereka, yaitu orang-orang kulit putih yang berhadapan dengan kelompok kulit putih lainnya, yaitu para skinheads. Para skinheads dikenal dengan gerakan rasis. Mereka adalah orang-orang yang merasa tidak aman dengan para imigran kulit berwarna. Mereka berpenampilan plontos, tangan sarat dengan tatto kemiliteran (terutama swastika), kaos lengan pendek bertuliskan kata-kata yang provokatif (seperti white power). Dalam konflik rasial semacam inilah kita harus menempatkan ideologi para punkers, disatu sisi mereka menentang para skinheads dengan ideologi ekstrim kanannya, dan untuk mengartikulasikan ideologinya, para punkers ini meminjam simbol-simbol perlawanan para imigran. Akan tetapi bukan berarti bahwa mereka para pendukung kaum migran. Mereka menentang para skinheads karena mereka termasuk orang kulit putih yang tersisih (marginal), jadi ada kesadaran kelas di antara punkers sekaligus juga mereka memiliki kesadaran etnik. Demikian, subkultur punk sangat kental dengan kesadaran ideologi kelas dan etnik.
Keempat, semiotika juga dipakai bersama dengan teori seni atau estetika. Dalam hal ini Hebdige memakai konsep estetika untuk membahas musik punk secara umum (baik berkenaan dengan pakaian, jenis musik, maupun pementasan). Bagi kami tak ada yang suci. Gerakan kami bukanlah gerakan mistik, bukan juga komunistik maupun anarkis. Semua gerakan ini mempunyai semacam program tertentu, sedangkan gerakan kami sama sekali nihilistik. Kami meludahi segala-galanya termasuk diri kami sendiri. Simbol kami adalah kekosongan. vacum, ketiadaan (George Grosz).
Pendapat Grosz diatas meresapi tafsiran Hebdige tentang seni atau anti-seni punk. Kalau Hebdige berpendapat bahwa punk adalah sebuah refusal, penolakan, peludahan, hal ini juga bisa dijelaskan secara estetik. Estetika dalam punk adalah sebuah estetika penolakan, estetika anti seni. Pengalaman estetika yang dirayakan dalam punk adalah pengalaman ketegangan (tension). Sebagai seni pop, punk menemukan stylenya untuk memperlakukan pengalaman akan ketegangan. Kostum yang dikenakan tidak mengikuti fashion melainkan unfashion, cara pementasan tidak mengikuti cara konser atau hiburan malam melainkan cara mereka sendiri di mana tidak lagi bisa dibedakan antara mereka yang sedang pentas dan mereka yang sedang menonton pentas.
Berkenaan dengan musik, Hebdige mengatakan, Demikian juga musik mereka berbeda dengan rock dan pop mainstream. Pada umumnya musik punk bercorak basic dan langsung, entah disengaja atau karena kurang ahli. Kalau kurang ahli, punk tentu melakukan dengan senang apa yang semestinya dilakukan (Kami ingin menjadi amatiran Johnny Rotten). Secara khas permainan gitar dengan volume dan trible yang mengeras disertai dengan saksofon akan menghasilkan baris-baris (non) melodik yang kejam dengan latar belakang suara drum yang riuh dan teriakan vokal. Dengan ringkas Johnny Rotten mendefinisikan kedudukan punk pada harmoni demikian, kami berada dalam chaos bukan dalam musik.
Kelima, semiotika juga berfaedah untuk mengkritisi konsep budaya. T. S Eliot mengartikan budaya sebagai a meaningful coherence, a whole way of life. Akan tetapi Hebdige menemukan bahwa dalam subkultur punk yang terjadi adalah coherence in contradiction. Ia menemukan hal-hal yang serba salah tempat, melanggar konsensus entah itu lewat musik, berpakaian, maupun berbahasa. Dilihat dari semiotika konsep budaya tersebut ia eksplorasi dari konsep budaya dalam antropologi struktural yang mengartikan budaya sebagai sistem komunikasi, bentuk-bentuk ekspresi dan representasi. konsep ini membantu kita untuk menempatkan style dalam budaya. Kalau dikatakan bahwa dalam budaya ada stile, stile diartikan sebagai coded responses. Style berarti cara yang dipakai oleh kelompok orang untuk merespon dunia sekitarnya dengan jalan menghasilkan code. Konsep budaya yang meliputi stile ini sejajar dengan konsep budaya sebagai way of life yang banyak dipakai dalam kajian budaya. Konsep ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa sistem komunikasi itu macet. Kemacetan tersebut jelas kita temukan dalam budaya punk. Dengan adanya makna ganda, di mana disatu sisi kita menemukan kehadiran yang aneh, disisi lain kita tidak bisa menutup telinga kita dari suara identitas untuk minta diakui.
Keenam, pada akhirnya pendekatan semiotika selalu berhadapan dengan wilayah yang berada di luar jangkauannya. Semiotika memberikan perangkat untuk membaca namun pada akhirnya ada wilayah yang tidak bisa dibaca oleh semiotika.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Buku Baik. Jogjakarta
Post a Comment