Lewis A. Coser. Mempertahankan Struktur Melalui Konflik

Table of Contents
Mempertahankan Struktur Melalui Konflik Lewis A. Coser
Lewis A. Coser
Konflik adalah salah satu bentuk sosiologis yang sebelumnya dibahas oleh Georg Simmel. Konflik merupakan bentuk interaksi di mana tempat, waktu serta intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan, sebagaimana dengan segi tiga yang dapat berubah (dalam bentuk-bentuk geometri). Lewis A. Coser mengambil pembahasan konflik dari Simmel, mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi-kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.

Ikatan Kelompok dan Pemeliharaan Fungsi-Fungsi Konflik Sosial

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana konflik, apakah dalam bentuk militer atau di meja perundingan, mampu menetapkan batas-batas geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya. Pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang mempertahankan praktek-praktek ajaran Katolik pra-Konsili Vatican II) dan gereja Anglo-Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita) merupakan contoh lain dari struktur baru yang tercipta lewat konflik.

Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok. Perang bertahun-tahun yang terjadi di Timur tengah telah memperkuat identitas in-group dengan negara Arab dan Israel, atau kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara. Kelompok keagamaan, kelompok etnis, dan kelompok politik sering berhasil mengatasi berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam memperkuat identitas in-group.

Katup Penyelamat (Savety-Valve)

Katup penyelamat (savety-valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup-penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.

Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Badan perwakilan mahasiswa atau panitia kesejahteraan dosen, dapat berfungsi sebagai katup-penyelamat, menyediakan sarana lewat mana para mahasiswa dan fakultas bisa mengungkapkan keluhan di universitas mereka. Kepala personalia suatu birokrasi perusahaan melakukan fungsi yang serupa. Contohnya Biro Usaha Lebih Baik (the Better Busines Bureu) adalah suatu organisasi savety-valve yang mengurangi konflik antara perusahaan dan konsumen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan universitas, perusahaan atau sistem ekonomi.

Lembaga savety-valve itu, di samping menjalankan fungsi positif untuk mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Oleh karena katup penyelamat bukan direncanakan atau ditujukan untuk menghasilkan perubahan struktural, maka masalah dasar dari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Tidak satu pun badan perwakilan mahasiswa atau sebagian besar kelompok dosen, misalnya, berwenang membuat kebijakan di universitas. Mereka ada hanya dengan persetujuan universitas dan, paling tidak sebagian, diatur serta dikendalikan oleh struktur yang lebih besar. Kepala personalia perusahaan itu pun tidak benar-benar mengetengahkan kepentingan karyawan, dan the Better Busines Bureu itu juga tidak menganggap kebutuhan konsumen sebagai alasan utama bagi eksistensinya. Semuanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang sedang bertikai (fakultas atau serikat buruh) yang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu.

Konflik Realistis dan Non-Realistis

Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realistis "berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistis, sejauh manajemen memang berkuasa dalam hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya. Dipihak lain, konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam lewat ilmu gaib sering merupakan bentuk konflik non-realistis, sebagaimana halnya dengan pengambinghitaman yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju. Dalam hubungan-hubungan antar kelompok, pengkambinghitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana seseorang tidak melepaskan prasangka (prejudice) mereka melawan kelompok yang benar-benar merupakan lawan, dan dengan demikian menggunakan kelompok-pengganti sebagai objek prasangka.

Banyak individu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap orang-orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah payah. Tetapi, yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin. Oleh karena tidak mampu bermusuhan dengan kaum politisi, yang mungkin memperoleh berbagai subsidi pertanian, atau dengan perusahaan-perusahaan minyak yang memperoleh depresiasi penurunan nilai minyak, seorang dari kelas menengah Amerika dapat menggunakan si penerima bantuan kesejahteraan sebagai objek kemarahan menentang sistem pajak Amerika. Dengan demikian konflik non-realistis adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian atau, seperti yang terlihat dalam contoh ini, sebagai pengganti antagonisme realistis semula yang tidak terungkapkan.

Dengan demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh sentimen-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain. Pemogokan melawan majikan, misalnya, dapat berupa sifat-sifat permusuhan tak hanya sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh-majikan, akan tetapi boleh jadi juga oleh karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap figur-figur yang berkuasa. Dengan demikian energi-energi agresif mungkin terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik diredakan.

Permusuhan dalam Hubungan-hubungan sosial yang Intim

Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan agresif. Sebagai contoh bisa dilihat pada dua pengacara, semasa masih menjadi mahasiswa fakultas hukum berteman erat, yang mewakili kepentingan klien mereka di pengadilan. Selama persidangan masing-masing pengacara itu secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meninggalkan ruang sidang kedua pengacara itu melupakan perbedaan dan langsung pergi ke restoran untuk berbincang tentang masa lalu. Contoh-contoh di mana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya terdapat pada hubungan-hubungan yang lebih bersifat parsial atau segmented, daripada hubungan yang melibatkan keseluruhan pribadi si peserta.

Akan tetapi bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) lebih sulit untuk dipertahankan Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan primer di mana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.

Yang bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Tetapi semakin lama perasaan demikian ditekan, maka semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat, maka konflik itu, ketika benar-benar meledak, mungkin sekali akan sangat keras.

Dengan demikian, menurut proposisi Coser, bila segala sesuatu dianggap sama, konflik antara dua orang yang saling tidak kenal akan kurang tajam bila dibanding dengan konflik antara suami dan istri. Di dalam hubungan yang intim orang dapat mencoba menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik, tetapi tindakan itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak bilamana konflik tersebut berkembang. Suami dan istri, misalnya, bisa sangat berbeda pendapat tentang penggunaan pendapatan keluarga. Karena dalam pembicaraan yang baru lalu pasangan itu merasa bahwa perbedaan di antara mereka tidak dapat diselesaikan, tetapi keduanya puas dengan perwakilan itu, maka mereka merasa enggan bertikai tentang masalah tersebut. Akan tetapi tindakan mengabaikan perbedaan pendapat serupa itu tidak ada artinya untuk mengatasi perbedaan dan suatu saat konflik niscaya meledak. Bila hal itu terjadi, masalah yang sebenarnya mengenai keuangan itu mungkin memang akan dibahas, akan tetapi elemen-elemen tambahan dapat juga tampil ke permukaan. Kunjungan terakhir dari ibu sang suami, kaca jendela yang kebetulan dipecahkan oleh sang anak, dan gaya susunan mebel yang dipilih oleh sang istri, semuanya dapat ikut-ikutan masuk menjadi alasan. Tambahan lagi masalah yang sebenarnya menjadi sumber konflik itu dapat ditimbulkan kembali oleh masalah non-realistis, termasuk kekecewaan terhadap majikan yang enggan menaikkan gaji pokok, kejengkelan pada tukang reparasi yang meminta upah tinggi untuk suatu pelayanan, dan permohonan pinjaman keuangan yang baru-baru ini diajukan oleh sanak keluarga.

Walaupun berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan yang intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.

Isu Fungsionalitas Konflik

Sebagaimana kita ketahui konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Ia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir, yang berarti konflik internal tidak ada, hal ini dapat juga berarti lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang Yahudi yang tinggal berbatasan dengan perkampungan bangsa Eropa dapat mengalami konflik in-group berkadar rendah, tetapi konflik mengenai perbedaan perspektif dalam masyarakat Amerika di antara orang-orang Yahudi itu dapat mencerminkan integrasi mereka.

Coser menyatakan bahwa yang penting dalam menentukan apakah suatu konflik fungsional atau tidak ialah tipe isu yang merupakan subyek konflik itu. Konflik fungsional positif bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Bila seseorang melangsungkan perkawinan misalnya karena ingin menjadi orang tua, sedangkan pasangannya ingin tetap tidak punya anak maka konflik tentang punya atau tidak punya anak ini menyangkut perjanjian persetujuan mengenai tujuan hubungan itu sendiri. Coser menyatakan orang dapat berharap bahwa tipe konflik ini barangkali akan memiliki dampak yang lebih besar pada hubungan-hubungan daripada konflik mengenai rencana-rencana tertentu tentang penggunaan waktu libur atau pengalokasian anggaran keluarga. Bilamana berkembang di sekitar masalah-masalah pinggiran konflik dapat bersifat instrumental bagi peningkatan struktur lewat cara seperti yang diuraikan di atas. Tetapi bila berkembang di sekitar nilai inti konflik dapat membahayakan eksistensi kelompok sosial itu sendiri.

Coser selanjutnya menyatakan bahwa masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan membiarkan konflik tersebut berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak mendasar. Konflik antara dua kelompok dan antara berbagai kelompok antagonistis yang demikian itu saling menetralisir dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Di dalam mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah pinggiran, kelompok-kelompok yang saling bermusuhan tidak pernah sampai pada situasi yang akan menyebabkan perpecahan. Amerika Serikat merupakan contoh dari masyarakat terbuka dan berstruktur longgar di mana terdapat sejumlah konflik mengenai berbagai masalah, mulai dari abortus, tenaga nuklir dan masalah perpajakan. Oleh karena masalah-masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti, maka konflik yang demikian tidak membahayakan struktur sosial. Ia malahan dapat meningkatkan solidaritas struktural di mana berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang berbeda mengenai berbagai masalah yang berbeda pula.

Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. perbedaan antara suami-istri, buruh-majikan, perawat-dokter, merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Masyarakat atau kelompok yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah masyarakat atau kelompok yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Dalam situasi demikian konflik biasanya tidak berkembang di sekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu memperkuat struktur. Di dalam kelompok-kelompok totaliter konflik ditekan dan bila telah meledak akan menghancurkan kesatuan kelompok. Dengan demikian Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari kekuatan dan stabilitas suatu hubungan.

Kondisi-kondisi yang Mempengaruhi Konflik dengan Kelompok Luar (Out-Group) dan Struktur Kelompok

Sebagaimana yang kita lihat, Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik  dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser berpendapat bahwa tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timbal balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Selanjutnya Coser menyatakan: bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apatis umum, dan akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan. Penelitian tentang dampak depresi terhadap keluarga, misalnya, telah menunjukkan bahwa keluarga-keluarga yang sebelum masa depresi memiliki solidaritas internal yang rendah memberikan tanggapan apatis dan akhirnya hancur, sedangkan keluarga dengan solidaritas tinggi ternyata semakin kuat

Bilamana suatu kelompok kecil dengan ikatan yang kuat berjuang melawan musuh dari luar, maka kelompok itu tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal. Kelompok tipe ini giat mempertahankan kesatuan kelompoknya dan akan bereaksi pada setiap usaha yang akan meninggalkan kelompok itu. Ilustrasi kelompok demikian ini dapat dilihat pada sekte keagamaan yang berusaha menarik orang-orang yang tidak percaya atau memaksa mereka keluar dari jajarannya. Coser masih berdasar atas karya Simmel, merumuskan kembali proposisi tersebut sebagai Kelompok-kelompok yang terlibat dalam perjuangan yang berkepanjangan dengan pihak luar, di dalam kelompok tersebut cenderung menjadi tidak toleran. Mereka tidak mungkin toleran melebihi yang diperbolehkan oleh kesatuan kelompok. Kelompok yang demikian cenderung menerima karakteristik yang mirip-sekte; yang memilih anggotanya atas dasar karakteristik khusus yang karena itu ukurannya cenderung terbatas dan menuntut keterlibatan seluruh kepribadian para anggotanya.

Coser menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok mirip sekte itu tergantung pada penerimaan secara total seluruh aspek-aspek kehidupan kelompok. Satu-satunya cara agar dapat mengatasi masalah perbedaan pendapat ialah dengan pengunduran diri dari kelompok secara paksa atau sukarela.

Dipihak lain kelompok-kelompok bertipe gereja, tidak terlibat dalam perjuangan berkepanjangan dengan pihak luar dan cenderung untuk tidak menuntut seluruh kepribadian para anggota. Kelompok yang demikian cenderung membiarkan adanya konflik yang ditolerir, dan mereka memiliki kemampuan bagi perubahan dan penyempurnaan.

Untuk kelangsungan hidupnya kelompok mirip sekte dengan ikatan tangguh itu bisa tergantung pada musuh-musuh luar. Konflik dengan kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi konflik ini sering (sebagaimana yang telah kita lihat dengan berbagai hubungan emosional intim) berdasar atas isu yang non-realistis. Sebagaimana dinyatakan Coser Seperti halnya konflik yang bukan diatur oleh keinginan untuk memperoleh hasil tetapi oleh kebutuhan melepas ketegangan demi mempertahankan struktur kepribadian, demikian juga dengan kelompok yang sengaja mencari musuh yang tidak ditujukan untuk memperoleh manfaat bagi para anggotanya, tetapi hanya untuk mempertahankan strukturnya sendiri agar tetap berjalan dengan lancar. Dengan demikian suatu kelompok mirip-sekte yang tidak toleransi terhadap pengungkapan konflik internal, boleh jadi harus bisa menciptakan musuh-musuh, bahkan seandainya musuh tersebut tidak ada, untuk mengalirkan setiap rasa permusuhan atau kemarahan, untuk menjaga kegusaran anggota atas setiap isu yang ada dalam kelompok.

Coser mengutip contoh-contoh fenomena ini dari catatan-catatan historis mengenai kelahiran serta perkembangan serikat-serikat buruh. Akan tetapi contoh yang sama dapat ditemukan pada bangsa yang sedang berperang, pada kelahiran sekte keagamaan atau di antara kelompok-kelompok politik ekstrim di suatu negara. Sementara kontroversi internal tidak dapat ditolerir, misalnya di antara kelompok-kelompok keagamaan mirip sekte seperti The Children of God, perjuangan kelompok tersebut melawan kaum kafir mungkin memperkuat kemampuannya untuk menarik serta mempertahankan orang-orang yang baru masuk agama mereka. Bilamana perjuangan yang membawa kelompok demikian untuk memperhatikan media perkabaran tiba-tiba terhenti, Coser akan mengatakan musuh-musuh baru mungkin mencoba untuk lebih memperkuat perkembangan dan peningkatan kohesi kelompok. Kelompok yang demikian tak hanya mencapai identitas struktural lewat oposisi dengan berbagai kelompok-luar tetapi dalam perjuangannya juga mengalami peningkatan integrasi dan kohesi.

Bilamana contoh tentang The Children of God itu dilanjutkan maka kita dapat melihat penjelasan dari proposisi lain yang berhubungan dengan ideologi dan konflik. Para anggota suatu sekte keagamaan seperti The Children of God itu sering digambarkan sebagai kelompok fanatik, kelompok yang sudah menjalani cuci otak, dan berbagai istilah lain. Beberapa di antara anggotanya lebih rela mati daripada menjadi orang murtad. Contoh yang serupa dapat dilihat dari awal kehidupan kaum Kristen, kaum Mormon, kaum Komunis, atau setiap perjuangan kemerdekaan di berbagai negara walaupun dengan keyakinan yang berbeda-beda.

Coser menjelaskan komitmen yang demikian lewat proposisi konflik-konflik di mana para pesertanya merasa bahwa mereka semata-mata merupakan wakil dari kolektivitas-kolektivitas atau kelompok-kelompok, berjuang bukan untuk dirinya tetapi hanya untuk cita-cita kelompok yang diwakilinya itu, sangat mungkin lebih radikal serta tak kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan-alasan pribadi. Penghapusan unsur-unsur personal cenderung mempertajam konflik karena tidak terdapatnya unsur-unsur pengubah di mana faktor-faktor pribadi biasanya akan di masukan. Gerakan kaum buruh Marxis modern tak ubahnya sebagai efek radikal dari keobjektivan konflik. Ikatan ideologis yang ketat lebih mungkin terjadi dalam struktur yang kaku ketimbang dalam struktur yang mampu mengadakan penyesuaian dan fleksibel.

Singkatnya, bilamana terdapat konsensus dasar mengenai nilai-nilai inti yang ada dalam suatu kelompok maka konflik dengan berbagai out-gorup dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok. Dalam struktur kelompok yang mirip-gereja atau ikatan longgar, sejauh ancaman pihak luar dianggap sebagai masalah kelompok, perbedaan-perbedaan lain dalam kelompok dapat ditolerir tanpa ancaman serius bagi stabilitas kelompok. Akan tetapi dalam kelompok mirip sekte atau yang memiliki ikatan kuat, konflik internal lebih mungkin tidak terungkapkan. Bagi kelompok seperti ini fokus konflik cenderung pada kelompok-kelompok luar. Coser malah menyatakan bahwa kelompok-kelompok pejuang yang diorganisir secara kaku mencari musuh demi mempermudah kesatuan dan kohesi mereka. Kelompok-kelompok demikian bisa menerima ancaman luar yang sebenarnya tidak pernah ada, tetapi ancaman imajiner itu memiliki potensi pemersatu kelompok dengan bobot yang sama dengan ancaman yang realistis.

Dengan demikian jelas bahwa fungsionalisme tahun 1950-an, yang terfokus pada masalah integrasi, telah mengabaikan isu konflik di dalam masyarakat. Pendekatan ini cenderung melihat konflik bersifat merusak dan memecahbelah. Sementara tetap terikat kuat dengan tradisi kaum fungsionalis struktural, Coser menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan, dan lewat sarana yang demikian kelompok-kelompok kepentingan mempertahankan kelangsungan masyarakat. Coser menyimpulkan pembahasan tentang hubungan antara konflik dan struktur sosial itu sebagai berikut, Pembahasan kita mengenai perbedaan antara jenis-jenis konflik dan jenis-jenis struktur sosial membawa kita pada kesimpulan bahwa konflik cenderung disfungsional bagi struktur sosial di mana tidak ada atau tidak terdapat cukup toleransi dan institusionalisasi konflik. Intensitas konflik yang mengancam terjadinya penghancuran yang menyerang dasar-dasar kesepakatan sistem sosial, berhubungan dengan kekakuan struktur. Apa yang merupakan ancaman bagi keseimbangan struktur yang demikian bukan konflik itu sendiri, tetapi adalah kekakuannya yang membiarkan rasa permusuhan terakumulasi dan bila meledak dalam konflik cenderung disalurkan melalui satu jalur utama: perpecahan.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini

Sumber
Poloma, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.


Lihat Juga
Teori Struktural Konflik Lewis A Coser (Youtube Channel. https://youtu.be/8hopvkc2HJ0 ) Jangan lupa like, komen, dan subscribe yah...

Baca Juga
1. Lewis A. Coser. Biografi
2. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial Menurut Para Sosiolog
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment