Maurice Blondel. Perbuatan sebagai Kaitan Substansial
Table of Contents
Maurice Blondel |
Karena itu, di sini sudah tampak suatu struktur pertama dalam perbuatan. Dibalik sikap acuh tak acuh yang pada pandangan pertama hanya menyangkut iseng-iseng saja, ternyata terdapat suatu kemauan mendalam yang terarah. Menolak untuk memilih tetap merupakan suatu pilihan, dan tidak menghendaki sesuatu pun tetap merupakan suatu perbuatan kehendak.
Metode yang digunakan dalam buku Perbuatan, dikemudian hari oleh Blondel sendiri disebut metode imanensi. Ia ingin membeberkan dialektika yang berlangsung dalam perbuatan, supaya melalui jalan tersebut ia sampai pada sesuatu yang melebihi perbuatan. Dengan kata lain, supaya akhirnya ia sampai pada transendensi.
Inti dari dialektika tersebut adalah kesenjangan antara perbuatan dan perwujudannya. Kesenjangan seperti ini bagi Blondel tampak dalam perbedaan antara volonte voulante (Inggris, willing will) dan voulonte voulue (willed will), antara kehendak yang menghendaki terus dan kehendak yang mencapai apa yang dikehendaki sehingga sudah puas. Kehendak yang menghendaki terus adalah kehendak manusia menurut bentuknya paling mendasar. Kehendak ini terarah pada apa yang dapat memenuhi keinginan manusia secara total dan definitive, sedangkan volonte voulue (harfiah: kehendak yang dikehendaki) adalah kehendak empiris yang terarah pada objek-objek konkrit. Blondel berniat mempelajari dinamika volonte voulante yang merupakan dasar terdalam semua perbuatan konkret.
Jika mau tidak mau kita menghendaki sesuatu, apakah yang sebenarnya kita kehendaki? Apakah yang merupakan objek tertinggi dan terakhir perbuatan-perbuatan kita? Blondel mengatakan: marilah kita selidiki satu persatu semua hipotesa yang mungkin, mulai dengan hipotesa dengan isi paling minimal. Menurut prosedur eliminasi ilmiah, kita menyisihkan, setelah penelitian yang cukup, setiap hipotesa yang tidak memadai, karena dinamisme perbuatan mendorong kita terus, lalu kita beralih kehipotesa berikutnya. Dengan demikian berturut-turut Blondel membicarakan lima tahap.
Inti dialektika tersebut adalah kesenjangan antara perbuatan dan perwujudannya. Pada semua tahap, manusia dalam perbuatannya tidak dapat mencapai sepenuhnya apa yang sebenarnya ia inginkan, entah perbuatan terarah pada manusia individual sendiri atau dijalankan sebagai perbuatan sosial (menurut berbagai gradasinya, sampai dengan bentuknya yang tertinggi di mana perbuatan diarahkan kepada kebahagiaan umat manusia seluruhnya). Selama proses yang dijalankan dalam lima tahap tersebut pertentangan antara perbuatan dan perwujudannya berkurang tetapi tidak hilang. Kesenjangan tetap tinggal di setiap tahap. Perbuatan manusia sendiri tidak dapat mencapai kepenuhan dan akibatnya tidak dapat dianggap sebagai tujuan terakhir manusia. Imanensi perbuatan menunjuk pada transendensi, hanya transendensi ilahi dapat merampungkan perbuatan dan menjadi destinasi terakhir manusia.
Dengan demikian, melalui jalan yang semata-mata filosofis Blondel telah tiba pada kesimpulan bahwa perbuatan manusia terarah pada tujuan yang sudah tidak natural lagi. Tetapi apakah ada unsur supranatural yang sanggup memenuhi dinamisme kehendak tersebut? Apabila wahyu Allah disampaikan kepada manusia, ia tidak boleh ragu-ragu untuk menerimanya, sebab hanya di situ ia akan memperoleh kepenuhan bagi perbuatannya. Hanya di situ akan terwujud persesuaian (adequation) antara kehendak konkret (volonte voulue) dan kehendak yang menghendaki terus (volonte voulante).
Tadi dikatakan: Apabila Wahyu Allah disampaikan kepada manusia,.. Masalahnya, apakah memang terdapat Wahyu Ilahi seperti itu? Apakah Allah memang pernah menyatakan diri-Nya kepada manusia? Tidak ada sarana-sarana filosofis yang memungkinkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hanya suatu penghayatan yang utuh dan sungguh-sungguh mendalam dapat memberikan kesaksiannya. Semuanya itu sekali-kali tidak berarti bahwa Blondel bermaksud mereduksikan agama kepada filsafat. Ia bermaksud menunjukkan bahwa agama tidak asing terhadap kodrat terdalam manusia. Ia memperlihatkan bahwa agama memang mempunyai relevansi bagi apa yang diusahakan dan dicari dalam filsafat. Sebaliknya, ia juga tidak berusaha mereduksi filsafat kepada teologi. Blondel secara konsekuen berbicara sebagai filsuf, sekalipun tidak dapat disangkal bahwa pemikirannya tentu juga sangat bernilai untuk apologetika Kristen.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Baca Juga
Maurice Blondel. Biografi dan Karya
Sumber :
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta
Post a Comment