Menafsirkan Realitas Sosial
Table of Contents
Realitas Sosial |
Menafsirkan apa itu realitas menjadi sangat penting untuk mewujudkan realitas itu sendiri, teristimewa dalam realitas sosial. Di dalam situasi masyarakat kontemporer ini, suara ilmu-ilmu sosial budaya dalam menafsirkan realitas itu tentu lebih diyakini daripada suara man in the street (orang awam). Namun, tafsiran itu, atau lebih tepatnya tafsiran-tafsiran itu, tidak dikeluarkan dari satu suara. Ada banyak suara yang berebut menyerbu untuk menafsirkan satu realitas. Semuanya mengklaim diri sebagai suara yang paling benar, penafsiran yang paling sahih atas realitas, atau singkatnya paling objektif. Artinya, penafsiran itulah yang paling sesuai dengan realitas apa adanya, tidak tergantung pada sang penafsir sendiri. Penafsiran apa adanya inilah yang disebut potret realitas sosial.
Potret semacam ini tentu sangat penting untuk menggambarkan mekanisme-mekanisme objektif yang menjalankan realitas itu. Jadi, kalau lembaga-lembaga negara, ormas-ormas, orpol-orpol, pranata-pranata budaya, sosial, agama dalam negara kita, dan seterusnya dipotret, kita akan menemukan bagaimana semuanya itu berhubung-hubungan menjalin satu realitas, realitas sosial itu. Potret objektif semacam ini tentu penting, tetapi sebagaimana halnya potret, menangkap salah satu momen dari peristiwa itu. lain halnya, jika realitas itu di film kan. Lalu, kita akan melihat aliran peristiwa yang menuju realitas itu. namun, film ini pun, sebagaimana disajikan oleh historiografi atau ilmu sejarah, bisa merupakan sebuah film yang berjalan menurut skenario pembuatnya, bukan menangkap realitas apa adanya. Lantas juga ada masalah objektivitas dalam ilmu sejarah.
Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu bukan sekedar mirip sebuah potret, melainkan juga film, dinamis, bergerak, mengalir, atau singkatnya, selalu berada dalam proses menjadi. Penafsiran-penafsiran ilmu-ilmu sosio-historis terhadap realitas itu memiliki dua pengandaian. Pertama, tafsiran-tafsiran itu dianggap lepas dari penafsirannya, atau objektif. Kedua, realitas yang ditafsirkan dipandang sebagai fakta yang tidak boleh dinilai, kalau tak mau dikatakan sebagai wajar terjadi. Keluar dari dua pengandaian tersebut, seorang ilmuwan sosial bisa beralih fungsi menjadi man in the street. Namun, penafsiran faktual macam ini memang menjadi ciri refleksi tahap pertama. Dalam arti tertentu, masyarakat kontemporer ditandai oleh keyakinan yang cukup besar akan, kalau tidak mau dikatakan memutlakkan, penafsiran-penafsiran macam ini. Lalu, yang paling berkuasa untuk menafsirkan realitas sebagai realitas adalah ilmu-ilmu pengetahuan, dan pada taraf tertentu jadilah realitas itu menurut penafsiran yang diyakininya.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Post a Comment