Merleau-Ponty. Persepsi dan Tubuh
Table of Contents
Merleau-Ponty |
Bagi Merleau-Ponty persepsi adalah jalan masuk ke kebenaran. Karena itu persepsi mempunyai prioritas terhadap rasio. Dengan pemikiran kritis kita memang sanggup mengatasi dunia dan memasuki suatu taraf yang abstrak, tetapi jangan lah dilupakan bahwa hal itu hanya mungkin karena terlebih dahulu dengan segenap eksistensi kita berpijak pada dunia.
Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia, kata Merleau-Ponty. Dengan adanya persepsi sudah jelas bahwa kita berakar dalam dunia. Manusia dapat dilukiskan sebagai berada-dalam-dunia (entre-au-monde) dan persepsi adalah relasi asli kita dengan dunia. Memang benar, persepsi bisa keliru. Saya sangka, saya melihat batu di kejauhan di situ, padahal yang ada tidak lain daripada bayangan yang dipantulkan matahari. Tetapi persepsi yang pertama yang keliru tidak dikoreksi oleh suatu instansi yang lain (pemikiran misalnya), melainkan oleh persepsi itu sendiri. Saya ini terbuka bagi dunia; itulah yang mendasari persepsi. Tetapi hal itu mengakibatkan juga bahwa persepsi saya tidak pernah rampung dan definitif, sebab hubungan saya dengan dunia ditandai oleh perspektif-perspektif yang berganti-ganti. Suatu perspektif menurut kodratnya tidak pernah absolut. Bila saya melihat sebuah rumah, umpamanya, saya melihat bagian depan atau belakang, sebelah kiri atau sebelah kanan, bagian luar atau bagian dalam. Saya melihat semua perspektif itu, tetapi hanya satu demi satu. Tidak pernah mungkin suatu perspektif absolut, di mana semua perspektif tadi berkumpul bersama-sama. Persepsi secara radikal berbeda dengan pengetahuan absolut, yang memegang peranan begitu besar dalam idealism. Dengan kata lain, persepsi mengambil bagian dalam ambiguitas eksistensi manusia. Dalam persepsi, terang tercampur dengan kegelapan, indera tidak dipisahkan dari rasionalitas dan subjektivitas anonym mendahului subjektivitas yang bening bagi dirinya sendiri (cogito dalam arti Descartes).
Bahwa Merleau-Ponty merumuskan pemikirannya dengan menolak realism maupun idealism sebagai dua pendirian ekstrim, secara khusus menjadi jelas dalam pandangannya tentang persepsi. Bagi realism persepsi merupakan suatu kejadian objektif saja (rangsangan dari luar mengakibatkan suatu pencerapan atau sensation dalam diri kita). Realism memutuskan pertalian erat antara subjek-yang-berpersepsi dengan dunia. Oleh idealism dunia diasalkan kepada subjek. Persepsi dianggap sebagai suatu bentuk pemikiran yang kabur, pemikiran yang kurang sempurna. Dengan demikian kedua-duanya jatuh dalam kekhilafan dasar yang sama, yaitu tidak mengakui subjektivitas sebagai berada-dalam-dunia.
Tema persepsi ini berhubungan erat dengan suatu tema lain yang sangat penting bagi Merleau-Ponty, yaitu tubuh. Kaitannya mudah dimengerti, sebab persepsi selalu melibatkan tubuh; persepsi berlangsung dalam dan melalui tubuh. Dalam konteks pembahasan persepsi, pernah ia berbicara tentang tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia daripada kita sendiri. Dalam persepsi, artinya dalam hubungan subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan sebagai subjek. Tubuh adalah subjek persepsi. Inilah pandangan Merleau-Ponty yang terkenal tentang tubuh-subjek. Tubuh tidak merupakan semacam alat yang dipakai oleh subjek. Seorang yang pandai main piano tidak menggunakan tangannya; seorang pemain sepak bola tidak menggunakan kakinya. Tubuh mereka tahu—tetapi bukan dengan pengetahuan teoretis saja—bagaimana harus bergerak dalam dunia. Tubuh dan subjek merupakan dua hal, tetapi tubuh sendiri adalah subjek. Tubuh melibatkan kita dalam dunia dan merupakan perspektif kita dalam dunia. Dengan pendiriannya tentang tubuh-subjek ini Merleau-Ponty yakin dapat mengatasi dualism Descartes. Seperti diketahui, bagi Descartes tubuh dan jiwa merupakan dua faktor tersendiri. Aku yang sebenarnya adalah jiwa dan tubuh pada dasarnya tidak lain daripada objek—mesin, kata Descartes—yang digunakan oleh jiwa. Dualism Cartesian ini telah mempengaruhi secara mendalam seluruh filsafat dan psikologi modern. Dalam rangka dualism misalnya dipisahkan antara kemarahan (yang dianggap suatu keadaan batin) dan gejala badani seperti pengepalan tinju, wajah merah dan seterusnya. Tetapi kemarahan adalah suatu cara bertingkah laku di mana tidak mungkin untuk memisahkan antara segi batin dan segi badani. Kemarahan sebagai emosi tidak pernah terlepas dari kemarahan sebagai ekspresi badani.
Bahwa tubuh adalah tubuh-subjek, dapat diungkapkan secara lain dengan mengatakan bahwa tubuh memberi makna. Makna juga merupakan suatu tema yang sangat penting dalam filsafat Merleau-Ponty. Yang khas bagi manusia adalah bahwa ia sanggup menampilkan makna. Bertingkah laku sebagai manusia berarti menampilkan makna dan persepsi adalah taraf paling mendasar di mana hal itu tampak. Maka dari itu Merleau-Ponty mengkritik aliran behaviorisme (J. Watson) dalam psikologi, yang menyamakan tingkah laku dengan reaksi atas rangsangan. Bagi behaviorisme tingkah laku tidak lain daripada adaptasi pada suatu stimulus. Tetapi anggapan serupa itu justru mengingkari yang khas bagi tingkah laku manusia. Tubuh manusia selalu mengatasi status benda; dalam arti itu tubuh adalah transenden. Sedangkan aliran psikologi yang sangat menarik bagi Merleau-Ponty adalah Psikologi Gestalt, karena Gestalt mengandaikan adanya hubungan dialektis antara subjek dan dunia. Tetapi dalam konteks ini secara konsekuen ia menolak kecendrungan sementara psikolog untuk memperlakukan Gestalt sebagai suatu benda.
Kalau tubuh diakui sebagai subjek, paham subjektivitas mendapat arti yang jauh lebih luas daripada dalam filsafat Descartes umpamanya. Bagi Descartes, subjektivitas sama dengan kesadaran; dan pada Sartre pun sebenarnya kita masih menemui pendapat yang sama. Tetapi menurut Merleau-Ponty, justru karena adanya tubuh-subjek, subjektivitas ternyata juga meliputi suatu dimensi tak sadar atau—lebih baik lagi—suatu dimensi prarefleksif. Subjektivitas seakan-akan mempunyai suatu lapisan mendasar yang bersifat anonym. Perbuatan-perbuatan sadar kita bertumpu pada tubuh-subjek yang memberi makna kepada taraf yang mendahului kesadaran. Dari segi ini dapat dimengerti minat khusus Merleau-Ponty (bertentangan dengan Sartre) untuk ketidaksadaran dalam psikoanalisa Sigmund Freud.
Dalam analisanya tentang tubuh Merleau-Ponty menyelidiki dan mengkritik juga pandangan tentang tubuh yang secara implisit menentukan uraian-uraian dalam fisiologi mekanistis dan psikologi klasik. Ia sangat menghargai penelitian-penelitian Kurt Goldstein dan Adheimar Gelb, khususnya tentang kasus Schneider. Schneider adalah seorang pasien yang menderita rupa-rupa gangguan akibat cedera otak dalam Perang Dunia I. Schneider tidak mampu melakukan gerakan-gerakan yang boleh disebut abstrak. Kalau orang meminta kepadanya agar ia menunjukkan hidungnya umpamanya, ia tidak bisa. Tetapi kalau perlu membersihkan hidungnya, dengan spontan ia mengangkat sapu tangannya ke tempat hidungnya. Atau jika anggota tubuhnya disengat serangga, dengan segera ia menggaruk bagian tubuh yang gatal itu, dengan mata tertutup sekalipun. Tetapi jika dokter minta agar ia meletakkan tangannya di atas anggota tubuh yang baru saja dijamah dokter, ia tidak bisa. Pendeknya ia tidak mampu melakukan gerakan-gerakan abstrak, artinya gerakan-gerakan yang tidak tercantum dalam situasi motoris yang konkret. Bagaimana kita dapat mengerti kelakuan pasien yang aneh ini? Tidak memadai setiap keterangan biologis-fisiologis yang mengatakan bahwa kelakuan pasien ini dapat dimengerti karena rusaknya beberapa bagian dalam otak. Alasannya adalah karena dengan keterangan fisiologis belaka tidak mungkin menjadi jelas apa sebabnya gerakan yang sama dalam satu situasi dapat dilakukan dan dalam situasi lain tidak. Dan tentu saja tidak pada tempatnya juga bila kita mencari sebab dibidang intelektual. Schneider mempunyai intelegensi cukup tinggi dan ia mengerti baik sekali apa yang diminta kepadanya oleh dokter. Kasus seperti pasien Schneider ini baru mulai dimengerti sedikit bila kita memahami tingkah laku manusia sebagai keterarahan kepada dunia atau—dengan istilah fenomenologis—bila kita memahami tingkah laku manusia sebagai intensionalitas. Intensionalitas atau berada dalam-dunia ini dapat berlangsung pada berbagai taraf. Gangguan-gangguan dalam tingkah laku Shneider terjadi karena keterarahan pada dunia terganggu. Ia tidak dapat menghayati hubungan dengan dunia melalui berbagai cara. Ia terikat pada yang aktual saja dan tidak dapat mengatasi situasi aktual ke situasi abstrak.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Merleau-Ponty dan Fenomenologi
3. Merleau-Ponty. Bahasa
Post a Comment