Richard Rorty. Pemikiran filsafat
Table of Contents
Richard Rorty |
Evaluasi atas gagasan-gagasan dalam bidang filsafat politik memerlukan penyegaran paradigma. Setelah runtuhnya komunisme, ideologi-ideologi besar memerlukan sebuah genre yang baru yang mampu memenuhi kebutuhan manusia akan sebuah pemahaman politik yang komprehensif. Liberalisme sebagai sebuah ideologi yang bertahan semenjak munculnya Revolusi Amerika disusul oleh Revolusi Prancis, menjadi sebuah ideologi yang paling dianut, dan mendapat penerjemahan dalam doktrin-doktrin yang sangat beragama, baik jumlah maupun coraknya.
Tulisan ini akan mengangkat pandangan Rorty sebagai salah satu filsuf kontemporer, yang mengajukan sebuah konsep tentang filsafat politik, mengenai liberalisme. Rorty memberikan sebuah makna baru bagi liberalisme, memberikan sebuah sudut pandangan baru setelah ia meruntuhkan semua klaim-klaim kebenaran yang bersifat modernistik. Sebagai seorang filsuf yang mengibarkan bendera kematian epistemologi, sekaligus kematian seluruh azas-azas filsafat, ia merasa wajib memberikan sebuah interpretasi baru terhadap ideologi-ideologi besar, yang sebelumnya berdiri di atas fondasi modernisme.
Rorty berusaha untuk memberikan sebuah arti baru pada berfilsafat. Ia berusaha untuk menemukan kembali filsafat dan menyelamatkannya dari kebuntuan-kebuntuan yang selama ini menyelimutinya. Rorty berusaha untuk berfilsafat tentang filsafat. Ia mulai dengan mengajukan kritik konstruktif terhadap karya-karya Wittgenstein, Quine, Davidson, dan lainnya dengan mengatakan bahwa semua proyek penelitian filsafat modern tidak mempunyai pijakan yang kuat.
Dalam tulisannya Consequences of Pragmatism, terutama Solidarity, Irony and Contingency, Rorty memberikan gambaran tentang umat manusia sebagai hewan-yang-menggunakan bahasa yang selalu mencoba mendefinisikan alam. Bukan hanya mereka mampu, tetapi karena mereka selalu mencoba supaya alam bisa dikuasainya. Inti kritik pemikiran Rorty tampak dalam karyanya yang provokatif, Philosophy and the Mirror of Nature (1979), selanjutnya disingkat PMN. Dalam buku ini, dan esai-esai yang terkumpul dalam Consequences of Pragmatism (1982, selanjutnya disingkat CP), target utama kritik Rorty adalah ide tentang ilmu pengetahuan sebagai representasi, sebagai cerminan mental akan dunia luar. Karakterisasi dan ilustrasi tentang budaya intelektual post-epistemologis, muncul dalam PMN dan CP, dan lebih berkembang lagi dalam karya-karya berikutnya, seperti Contingency, Irony, and Solidarity (1989, selanjutnya disingkat CIS), kemudian dalam Objectivity Relativism, and Truth (1991, selanjutnya disingkat ORT), Essay on Heidegger and Others (1991, selanjutnya disingkat EHO), dan Truth and Progress (1998, selanjutnya disingkat TP). Karya-karya Rorty ini mencakup telaah yang sangat luas, menyatu dan menggunakan titik pandang yang sangat beragam.
Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan dan mengaplikasikan Dewey, Hegel dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara historisisme dan naturalisme. Rorty menentang epistemologi sebagai sebuah disiplin dalam filsafat. Menurut Rorty, epistemologi modern bukan hanya sebuah usaha untuk melegitimasi klaim kita terhadap ilmu pengetahuan tentang alam benda-benda, namun juga sebuah usaha untuk melegitimasi refleksi filosofis itu sendiri.
Secara historis, kontrak sosial adalah perkembangan teori hukum alam, terutama pandangan Grotius dan Puffendorf. Dalam Leviathan karya Thomas Hobbes, kontrak sosial secara jelas disebutkan pada bab 13 sampai dengan bab 15. Hobbes berpendapat bahwa keadaan dunia atau alam pada awalnya adalah sengketa terus-menerus. Keadaan ini menurut manusia yang rasional dan bermoral harus diakhiri. Dasar dari pemikiran Hobbes adalah pandangannya bahwa manusia secara psikologis dimotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri saja.
Hobbes berpendapat bahwa tanpa aturan moral, kita akan menjadi korban kepentingan orang lain. Kepentingan diri sendiri manusia jugalah yang mendorongnya untuk mengadopsi seperangkat aturan dasar yang memungkinkan diwujudkannya masyarakat beradab. Namun, aturan ini baru bisa menjamin keselamatan manusia bila dilengkapi dengan alat paksaan. Maka, dibentuklah sebuah perjanjian antarindividu yang dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya kepada institusi baru hasil kontrak sosial yang mempunyai kekuasaan untuk membuat masing-masing individu mentaati aturan hasil kesepakatan mereka yaitu hukum legal (Huijbers, 1990:64-67).
Negara, menurut Hobbes, sejak awal berdirinya ditujukan untuk melindungi keselamatan dan kepentingan individu. Agar kewibawaan dan kekuasaan negara dapat dipergunakan dalam mengontrol setiap kepentingan individu, negara mempunyai kekuasaan penuh dalam mengatur kehidupan bersama rakyatnya melalui hukum dan aparatnya. Hobbes menganggap bahwa absolutisme negara adalah satu-satunya cara menyelamatkan manusia dari kodratnya sebagai serigala.
Pemikiran filsafat politik kedua yang mendasari berdirinya paham liberalisme adalah pemikiran tentang kontrak sosial filsuf Inggris, John Locke. Locke menolak pandangan bahwa manusia punya sifat kodrat untuk saling memangsa. Menurutnya, pada zaman dahulu, manusia menganut hukum-hukum alam, dan ketika hukum-hukum alam bersifat terlalu membatasi dan tidak mampu memaksakan otoritasnya terhadap individu, maka manusia membuat sebuah kontrak sosial. Mereka memberikan sebagian kecil haknya kepada institusi yang mereka anggap representatif, yaitu negara. Negara sebagai bentukan masyarakat ini dibuat untuk melindungi hak-hak warga negara. Negara tidak absolut, karena individu hanya menyerahkan sedikit saja dari hak-haknya, yaitu hak untuk melakukan hukuman terhadap orang yang melanggar hukum hasil konsensus bersama.
Menurut Locke, hak-hak manusia adalah haknya sebagai pribadi dan, oleh karena itu, tidak dapat diserahkan kepada orang lain. Kekuasaan negara dibatasi dengan tujuan pembentukannya. Negara tidak berkuasa absolut, ia adalah alat untuk menjaga supaya hak-hak individu tetap dihormati, atau singkatnya, negara adalah penjaga malam. Teori politik inilah yang mendasari konsep negara hukum yang menghormati hak-hak warganya, dengan kata lain negara liberalis (Brecht, 1959:83). Teori kontrak sosial sebagai sebuah terma dalam kajian filsafat politik akhirnya sampai pada sebuah kerangka pikir filosofis yang memicu timbulnya paham liberalisme, yang berdiri di atas keyakinan atas adanya perlindungan hak-hak individu di depan institusi-institusi besar manusia, yaitu kekuasaan negara dan kewenangan masyarakat.
Kontraktarianisme (aliran teori kontrak sosial) kontemporer secara karakter mengandung hipotesis ganda. Tidak ada seorang pun ahli teori politik yang berpikir bahwa pertanyaan tentang legitimasi dan obligasi dapat dijawab dengan survei perilaku menyangkut perjanjian sosial yang sudah ada. Ahli teori politik tidak pernah mengadakan survei pada individu, mereka melakukan survei itu dalam imajinasi mereka. Ini yang disebut hipotesis ganda. Masalah yang muncul adalah tingkat kebenaran macam apa yang bisa dijadikan landasan epistemologis sebuah keyakinan akan ideologi/sistem pemikiran politik? Bila hipotesis ini berdiri di atas hipotesis lain (seperti proposisi kelas dalam marxisme), kita tentu menghadapi kesulitan dalam memberikan legitimasi teori.
Liberalisme modern, seperti Hobes dan Locke, berdiri di atas hipotesis ganda ini, sehingga legitimasinya kurang. Modernisme yang fondasionalis dan representatif selalu menggiring pemikiran ke arah yang paling ekstrem, karena ketika diusahakan untuk selalu konsisten, masing-masing pemikiran akan tertarik ke arah yang ekstrem dan saling berlawanan, seperti misalnya antara ontologi Marx dan Hegel. Pendasaran argumen pada metafisika dan moral ini ternyata menghasilkan penyeragaman di seluruh dunia. Liberalisme yang menghasilkan kapitalisme, membuat sebuah genre tentang kesamaan hak individu, yaitu kebebasan di segala bidang kehidupan. Hal ini menimbulkan sebuah reaksi keras sebuah aliran pemikiran baru yang memandang hak individu dari sudut pandang orang lain yaitu sosialisme. Dan sesuai dengan karakter modernisme yang fondasionalis, maka kapitalisme dan sosialisme terseret ke arah ekstrem yang berlawanan, walaupun mereka berangkat dari term yang sama, yaitu kesamaan.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Richard Rorty. Biografi dan Karya
2. Richard Rorty. Pragmatisme Politik
3. Richard Rorty. Diskursus Postmodernisme
4. Rorty dan Kesudahan Epistemologi
Post a Comment