Teori-teori Modernitas dan Posmodernitas
Table of Contents
Teori Modernitas dan Posmodernitas |
Para Pembela Modernitas
Semua teoritisi sosiologi klasik (Marx, Weber, Durkheim, dan Simmel) memerhatikan, dengan satu dan lain cara, dunia modern dan keuntungan-keuntungan serta kerugian-kerugian (Sica, 2005). Tentu saja, yang terakhir di antara orang-orang tersebut (Weber) meninggal pada 1920, sejak itu dunia telah berubah secara dramatis. Meskipun para teoretisi kontemporer mengakui perubahan-perubahan dramatis itu, beberapa orang percaya bahwa ada banyak kontinuitas daripada diskontinuitas di antara dunia masa kini dan dunia yang ada di sekitar fin de siecle (tahun-tahun terakhir abad ke-19).Mestrovic (1998:2) telah menyebut Anthony Giddens imam tinggi modernitas. Giddens (1990, 1991, 1992) menggunakan istilah seperti modernitas radikal, tinggi, atau akhir untuk melukiskan masyarakat masa kini dan untuk menunjukkan bahwa sementara ia bukan masyarakat yang sama seperti yang dilukiskan oleh para teoretisi klasik, ia masih berkesinambungan dengan masyarakat itu. Giddens melihat modernitas masa kini sebagai suatu juggernaut (kereta pelindas) yakni, setidaknya pada derajat tertentu, berada di luar kendali. Ulrich Beck (1992, 2005a; Jensen dan Blok, 2008; Ekberg, 2007; Then, 2007) berpendapat bahwa sementara panggung klasik modernitas terkait dengan masyarakat industri, modernitas baru yang sedang muncul paling baik dilukiskan sebagai suatu masyarakat risiko. Sementara dilema sentral di dalam modernitas klasik adalah kekayaannya dan bagaimana sebaiknya penyalurannya, masalah sentral di dalam modernitas baru adalah pencegahan, minimalisasi, dan penyaluran risiko (dari, misalnya, bencana nuklir). Jurgen Habermas (1981, 1987b) melihat modernitas sebagai suatu proyek yang belum selesai. Yakni, isu sentral di dalam dunia modern yang masih berlanjut, seperti di masa Weber, adalah rasionalitas. Tujuan utopisnya masih maksimalisasi rasionalitas baik sistem maupun dunia-kehidupan. Zygmunt Bauman (2007b, 2006, 2005, 2003, 2000) telah menghasilkan serangkaian analisis yang pada dasarnya modern atas apa yang dia sebut dunia yang cair.
Para Pendukung Posmodernitas
Memang posmodernisme begitu panas dan didiskusikan tidak habis-habisnya di banyak bidang pada akhir abad ke-20, termasuk di dalamnya sosiologi, sehingga posmodernisme tampak sudah dalam proses terbakar habis (Lemert, 1994b). Kita perlu membedakan, setidaknya di awal, antara posmodernitas dan teori sosial posmodern (Best dan Kellner, 1991). Posmodernitas adalah suatu epos historis yang diduga telah menggantikan era modern, atau modernitas. Teori sosial post-modern adalah suatu cara berpikir tentang posmodernitas; dunia itu begitu berbeda sehingga membutuhkan cara-cara berpikir yang seluruhnya baru. Kaum posmodernis akan cenderung menolak perspektif-perspektif teoretis yang diterangkan di dalam bagian sebelumnya, dan juga cara-cara yang dipakai para pemikirnya dalam menciptakan teori-teori mereka.Mungkin para teoretisi posmodern sama banyaknya dengan uraian mengenai posmodernitas. Untuk menyederhanakannya, saya akan merangkum beberapa unsur kunci pelukisan yang ditawarkan oleh salah seorang posmodernis terkemuka, Fredric Jameson (1984, 1991). Pertama, posmodernitas adalah dunia yang tidak mempunyai kedalaman, yang dangkal; itu adalah suatu dunia simulasi (contohnya, pesiar di hutan Disney Land ketimbang di hutan yang nyata). Kedua, posmodernitas adalah suatu dunia yang kekurangan dalam hal rasa dan emosi. Ketiga, ada kehilangan perasaan akan tempat seseorang di dalam sejarah; sulit membedakan masa silam, masa kini, dan masa depan. Keempat, sebagai ganti dari teknologi-teknologi modernitas yang eksplosif, meluas, produktif (misalnya, lini perakitan mobil), masyarakat posmodern didominasi oleh teknologi-teknologi yang implosif, meratakan, reproduktif (misalnya televisi). Di dalam cara-cara tersebut dan cara-cara lainnya, masyarakat posmodern sangat berbeda dari masyarakat modern.
Dunia yang demikian berbeda memerlukan cara berpikir yang berbeda. Resenau (1992; Ritzer, 1997) mendefinisikan cara berpikir posmodern dari segi hal-hal yang dilawannya, terutama karakteristik-karakteristik cara berpikir modern. Pertama, kaum posmodernis menolak jenis grand narratives (cerita-cerita besar) yang mencirikan sebagian besar teori sosiologi klasik. Sebagai gantinya, kaum posmodernis lebih menyukai penjelasan-penjelasan yang terbatas, atau sama sekali tidak ada penjelasan. Kedua, ada penolakan terhadap tendensi penetapan batas-batas antara berbagai disiplin—menyibukkan diri di dalam sesuatu yang disebut teori sosiologis (atau sosial) berbeda dari, katakanlah, pemikiran filosofis atau bahkan penuturan kisah novelistik. Ketiga, kaum posmodernis kerap lebih tertarik untuk mengguncang atau mengejutkan pembaca daripada menggeluti wacana akademik yang cermat dan bernalar. Akhirnya, daripada mencari inti masyarakat (misalnya rasionalitas atau eksploitasi kapitalistik), kaum posmodernis lebih condong untuk berfokus pada aspek-aspek pinggiran masyarakat.
Meskipun teori posmodern telah mencapai puncaknya dan kini sedang mengalami kemunduran, ia masih berdampak kuat pada teori. Di satu sisi, sumbangan-sumbangan baru kepada teori masih tampak (contohnya, Powell dan Owen, 2008). Di sisi lain, sangat sulit berteori pada masa kini tanpa memperhitungkan teori posmodern. Khususnya kritik-kritiknya terhadap teorisasi modern dan analisisnya atas dunia kontemporer.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Diskursus Filosofis tentang Modernitas [Postmodernitas]
2. Ulrich Beck. Politik Globalisasi dan Kosmopolitanisme
3. Postmodern Moderat Fedrich Jameson
4. Lyotard dan Postmodernisme
5. Jean Baudrillard. Teori Sosial Postmodern Ekstrim
6. Anthony Giddens. Juggernaut Modernitas
7. Zygmunt Bauman. Konsekuensi Globalisasi pada Manusia
Post a Comment