Aliran Filsafat. Pragmatisme

Table of Contents
aliran filsafat pragmatisme
Pragmatisme
Istilah pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma yang berarti perbuatan atau tindakan. Isme di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya, yaitu aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.

Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metode untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno (Guy W. Stroh:1968).

Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar terhadap budaya Amerika dari lewat abad ke-19 hingga kini. Falsafah in telah dipengaruhi oleh teori Charles Darwin dengan teori evolusinya dan Albert Enstein dengan teori relativitasnya. Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi dan sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan irasionalisme. Idea tradisional telah mengatakan bumi ini tetap dan manusia mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni, sementara nihilisme dan irasionalisme adalah menolak semua dugaan dan ketentuan. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metode yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini.

Karena metode yang dipakai sangat populer untuk dipakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, dan menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat ini pun segera menjadi populer. Filsafat yang berkembang di Amerika pada abad ke-19 ini sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander Peirce, William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat memengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.

Namun, filsafat ini akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang klas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model praktis Amerika. Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi.

Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini, pragmatisme tidak lain adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide atau tindakan. Karena itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.

Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memerhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh aliran ini adalah William James. Ia termasuk tokoh sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Tokoh lainnya adalah John Dewey, Charles Sanders Peirce, dan F.C.S. Schiller.

Bagi William James (1842-1910), pengertian atau putusan itu benar jika pada praktik dapat dipergunakan. Putusan yang tidak dapat dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak dalam lingkungan ilmu, seni, dan agama. Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Dalam bidang tersebut ia berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam filsafat, kata James, akal dengan segala perbuatannya ditaklukkan perbuatan. Ia tak lebih pemberi informasi bagi praktik hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita.

Dalam bukunya The Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu disebabkan karena dalam perkembangannya ia dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

Pemikiran James ternyata juga sejalan dengan pemikiran John Dewey. Bagi Dewey, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia mengalami kesulitan maka ia segera akan menghadapi kesulitan dengan mencari solusinya. Kegiatan berpikir tersebut merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah keadaan sebelumnya menuju keadaan berikutnya.

Pandangan Dewey mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pengalaman, menyelidiki dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis. Oleh sebab itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran yang metafisis. Lanjut Dewey, pemikiran kita pada dasarnya berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman.

Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penyelidikan dengan penilaiannya adalah alat (instrumental). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu. Muara dari semua proses tersebut adalah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.

Pada tokoh Dewey ini, Sutrisno menjelaskan bahwa berlainan dengan gaya empirisme James, Dewey juga termasuk tokoh empirisme yang bersangkutan pula dengan pragmatisme. Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip naturalisme empiris atau empirisme naturalis. Istilah naturalisme diterangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemrosesan istimewa dari realitas objektif secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pengakalan perbedaan antara subjek yang memandang objek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.

Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan pancaindra pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.

Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Barus setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud. Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai perkembangan terus menerus hubungan organisme dengan lingkungannya.

Dari pandangan tersebut kita bisa menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali ke pengalaman. Si subjek bergumul dengan situasi problematika yang empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses doing dan undergoing, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subjek dan objek, antara tindak dengan benda material. Meskipun demikian, di dalam pengalaman kedua hal tadi tercakup dalam ketotalan yang manfaat.

Dalam memberikan patokan tentang kebenaran, Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus ditafsirkan dalam konteks Dewey, yaitu proses transformasi situasi problematis seperti telah diterangkan di atas (Sutrisno, 1977:99). Seperti apa yang telah dijelaskan tentang gagasan atau ajaran Peirce terhadap pragmatisme di atas. Horton dan Edwards di dalam buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme:
a. Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini manusia

b. Bahwa apa yang kita namakan universal adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari Community of knowers

c. Bahwa filsafat dan matematika harus dibuat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).

Walaupun penggunaan istilah universal memperlihatkan bahwa Peirce masih memikirkan sehubungan dengan Pre-existing truths di mana semua opini manusia harus dipertegas pada akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktif oleh kumpulan akal (pikiran) memberikan William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme. Di samping itu, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti, dan tak dapat diprediksi, tetapi dunia benar adanya

b. Bahwa kebenaran tidaklah melekat pada ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata

c. Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuannya

d. Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia tempat kita tinggal di dalamnya (Horton dan Edwards, 1974:172)

James telah berhasil membuat satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakikatnya sejajar dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam alam jagat raya ini sebagai agen yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem melalui intelegensia praktisnya. Semua pengalaman adalah hal yang nyata, James berpendapat bahwa manusia tidak diminta untuk menjelaskan semuanya sesegera mungkin. Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu adalah kebenaran, dengan pengertian bahwa kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi yang telah ditentukan dan tidak boleh melebihinya.

Dalam buku Some Problem of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme. Menurut James, para rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang filsuf rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya, filsuf empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju ke menyeluruh. Ia lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memusatkan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filsuf empiris.

Pendapat ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran sebagaimana terdapat dalam bukunya The Meaning of Truth (1909). Di dalamnya ia mengartikan kebenaran merupakan suatu postulat yang bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Di lain pihak siap diuji dengan diskusi. Kedua arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya, segala hal yang ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode. Suatu metode untuk memastikan atau menyelesaikan pertentangan teori A dan B.

Dengan demikian, pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu objek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung objek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekuensi praktisnya, kita dapat melihat garis penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum di antara para ilmuwan dan filosof bahwa James berutang budi banyak pada Peirce. Malahan secara terang-terangan ia mengungkapkan bahwa nilai prinsip Peirce adalah prinsip pragmatisme. Dalam buku Pragmatism (1907) ia menulis: ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James menerapkannya dalam bidang agama, hal ini nyata kelihatan dalam buku The Will to Believe maupun Varieties of Religious Experince (1902:98).

Last but not least, yang paling mendasar dari pembahasan aliran pragmatisme ini adalah bahwa filsafat ini dimaknai sebagai alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari-hari dan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknis (praktis). Dengan kata lain, pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting, bukan pendapat atau teori. Yang pokok adalah manusia berbuat dan bukan berpikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang hanya berguna untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut memperkuat  dan mengembangkan hidup manusia dalam praktik pelaksanaannya. Demikianlah pragmatisme berpendapat bahwa yang benar itu hanyalah yang memengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik, yang dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Filsafat pragmatisme penting diterapkan di Indonesia apalagi kita sedang hangat-hangatnya melaksanakan pembangunan nasional jangka panjang.


Ket. klik warna biru untuk link

Download


Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment