Aliran Filsafat. Strukturalisme

Table of Contents
aliran filsafat strukturalisme
Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang banyak dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis metode linguistik Saussure. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa—seperti yang dilakukan Levi-Strauss dan mitos, keteraturan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar; serta Barthes dan Greimas dengan grammar dan narasi. Mereka melakukan pencarian untuk suatu struktur yang tersembunyi yang terletak di bawah permukaan yang tampak dari suatu fenomena. Social semiotics kontemporer telah bergeser di bawah konsentrasi para strukturalis yang menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung di dalam suatu sistem. Melakukan eksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxis yang diwarnai oleh aturan ideologi.

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.

Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss. Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Levi-Strauss tentang pemikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai impian kolektif, basis ritual, atau semacam permainan estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai mainan anak-anak serta menolak adanya relasi apa pun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Levi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tidak disadari ini membawa Levi-Strauss pada analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar: Di satu sisi tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apa pun bisa disematkan pada subjek apa saja; setiap relasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dimungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah yang amat luas... jika muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita dapat menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa.

Mitos, menurut Levi-Strauss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa karena ia merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun, tentu saja analogi seperti ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa, karena itu harus ditunjukkan perbedaannya melalui konsep Saussure mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian individual. Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya.

Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai suatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan. Maka setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentransendensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis dan transkultural atas dunia.

Tidak seperti puisi, mitos tidak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.

Berdasarkan anggapan ini, Levi-Strauss memformulasikan dua proporsisi dasar dalam hubungannya dengan mitos: makna dari mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya yang terisolasi, tetapi harus melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.

Apa yang ingin dicoba ditangkap Levi-Strauss di sini adalah sense tentang adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik, antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekedar kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan versinya, dan ia mengatakan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua sumbu, seperti halnya dalam partitur orkestra, untuk membangkitkan panduan nada dan harmoni. Di sisi lain, Levi-Strauss percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang melingkupi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi bekerja mengatasi realitas kasar dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah perangkat-logika yang berfungsi menciptakan ritus-pembatasan untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi. Pada titik inilah usaha Levi-Strauss untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya dari parole dengan melakukan analisis finemik atasnya mencapai batas-batas terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau. Tetapi Levi-Strauss terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga di balik struktur tak ada apa pun lagi.

Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat mirip disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan transformasi arbitrer yang menciptakan varian mitos. Kearbitreran ini dimungkinkan karena, bagi Levi Strauss satu-satunya yang kokoh hanyalah mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaan terhadap langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik padanya. Padahal struktur mitos hanyalah penjelasan bahwa ia adalah bahasa khusus yang mesti dicari logos di balik langue-nya.

Dalam sebuah mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan tentang Angin Selatan yang jahat karena begitu kencang dan dingin sehingga bila angin ini berembus manusia tidak dapat beraktivitas secara normal, karena itu semua makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil adalah ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat bahwa ia diizinkan untuk berembus hanya pada hari-hari tertentu secara berganti-ganti sehingga meninggalkan daerah itu pada saat manusia dapat bepergian normal.

Levi-Straus menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner antara alam yang ramah terhadap manusia dengan alam yang bermusuhan, yaitu kehadiran angin dan ketidakhadiran angin, dan melihat aspek yang sama terhadap ikan skate pada posisi manusia memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari samping ia seperti segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian menjadikan ikan skate sebagai tokoh pendamai pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut sesungguhnya mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika konkret ini dalam pandangan Levi-Strauss menunjukkan demikian mudahnya masyarakat lampau menetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.

Belakangan, Pierre Bourdieu mengembangkan aliran constructivist structuralism atau structuralist constructivism yang mengacu pada struktur-struktur objektif, terlepas dari kesadaran dan keinginan-keinginan pelaku-pelaku, yang mampu mengarahkan dan sekaligus menghalangi praktik-praktik atau representasi mereka. Dengan menggunakan istilah konstruktivisme, Bourdieu menyatakan bahwa terdapat genesis sosial dari skema-skema persepsi, pemikiran, dan aksi, serta bagian lain dari struktur sosial.

Bourdieu meletakan konseptualisasi pemikiran melalui aspek-aspek habitus dan arena (champ). Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (practique sociale), pertarungan (lutte) dan strategi (strategie). Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya dengan praktik penelitian adalah penekanan pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk di belakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan di lapangan.

Dalam praktik penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama, kita harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Dengan demikian, kita menemukan bahwa suatu hal merupakan bagian dari kekuasaan. Kedua, kita harus menetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi-posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berada dalam persaingan di dalam arena. Ketiga, kita harus menganalisis habitus para pelaku, sistem-sistem kecenderungan yang berbeda yang diperoleh melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut kondisi sosial ekonomi, yang berada dalam suatu jalur yang didefinisikan di dalam arena yang dianggap memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.

Bourdieu memperkenalkan metodologi yang disebut generative structuralism, yang menggambarkan suatu cara berpikir dan kiat dalam mengajukan pertanyaan. Dengan metode itu Bourdieu menggambarkan, menganalisis, dan memberikan genesis persona tertentu, struktur sosial, dan kelompok. Ia mengajukan suatu teori analisis dialektis terhadap kehidupan praktis. Perspektif semacam itu menyuguhkan kemampuan untuk menunjukkan interplay antara praktik ekonomi personal dengan dunia eksternal dari sejarah kelas dan praktik sosial. Tugas itu harus menggunakan modus berpikir relasional dan melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif dengan representasi subjektif.

Strukturalisme memiliki asumsi bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda. Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan inner structure agar mampu memberi makna yang tepat pada fenomena yang tengah menjadi studi. Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki berbagai ranah dalam disiplin ilmu dan berbagai aspek kehidupan. Perkembangan langsung dari strukturalisme adalah fungsionalisme yang melihat relasi sistemis menjadi relasi fungsional.

Roman Jacobson, salah satu ahli linguistik yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalinguistik, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; (6) fungsi puitis, penyandi pesan.

Langkah-langkah analisis struktural atas fonem yang dilakukan Jacobson antara lain: (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut, (b) memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain, (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana—dengan distinctive features—yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya, (d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigamtis, yakni perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan.

Louis Hjelmslev adalah tokoh linguistik yang mengembangkan semiotik pasca-Saussure. Hjelmslev mengembangkan sistem dwipihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Ia membagi tanda ke dalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure. Namun, konsep tersebut dikembangkannya dengan menambahkan bahwa baik expresion maupun content mempunyai komponen form dan substance sehingga terdapat expression form dan content form di satu pihak serta expression substance dan content substance pada pihak lain.

Maka, dengan perluasan ini, diperoleh gambaran bahwa sebelum expression form terbentuk, terdapat bahan tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang melalui expression substance memperoleh batasan yang akhirnya terwujud dalam expression form tersebut. Demikian pula halnya dengan content form yang dari content substance diberikan batas-batas pada bahan tanpa bentuk. Berbicara semiotika dan mitologi, maka kita tidak dapat melepaskan dari nama Roland Barthes. Dalam pembahasan mengenai semiotika, Barthes mengemukakan asumsi bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Apakah Anda menemukan atau merasakan kesalahan pada tulisan di atas? Jika Anda cermat maka Anda akan temukan adanya kesalahan dalam penggunaan font untuk tulisan-tulisan tersebut. Ketika kita melihat pada konotasi kita akan melihat kedalaman makna yang berakar jauh di dalam budaya kita. Konotasi tanda menjadi partikuler ketika kita melihat pada penggunaan tanda dalam periklanan. Sebuah foto mengenai mobil secara pasti bisa kita rujukan pada petanda mobil dalam dunia riil, tetapi juga berkonotasi pada kekuatan, kebebasan, modernitas, dan lain-lain.

Iklan A Mild terdapat gambar kursi dan tulisan Kalo enggak dibersihin KUTU BUSUKNYA Enggak bakalan PERGI! Kursi di sini tidak secara sederhana bisa kita pahami sebagai tempat duduk, namun merupakan penanda yang merujuk pada kelas sosial atau jabatan tertentu. Terutama ketika kemunculan iklan ini di tahun 2004, hampir berbarengan dengan pemilihan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Inilah yang disebut oleh Roland Barthes sebagai second-order of signification. Second-order of signification ini selanjutnya bisa kita sebut sebagai konotasi. Menggunakan konsep inilah Barthes menjelaskan mengenai mitologi. Salah satu contoh yang terdapat dalam bukunya (Mythologies, 1957) adalah foto seorang prajurit berkulit hitam sedang memberi hormat pada bendera Prancis.

Barthes menambahkan untuk menjelaskan makna dari foto. Lebih jauh, second-order signification (konotasi) harus muncul dari pengalaman yang kita punyai dan memiliki asosiasi (konotasi) yang telah kita pelajari untuk memasang makna dengan tanda. Bagaimanapun juga konotasi tidak bisa lepas dari kultur di mana kita tinggal dan di antara tanda-tanda yang beroperasi sebagai sistem interpretasi tanda. Ini membawa pada apa yang dirujuk Barthes sebagai mitos. Di bawah operasi mitos ini, tanda menjadi penanda tatanan kedua (second-order signifier). Pertandanya adalah Prancis sebagai negara besar, di mana semua anak negerinya, tanpa membedakan warna kulit, mengabdikan diri pada Prancis.


Ket. klik warna biru untuk link

Download


Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment