Globalisasi, Partikularisasi, dan Pengalaman Kolonialisme
Table of Contents
Kolonialisme |
Untuk itu ada tiga alasan pokok, mengapa gagasan mengenai sebuah sistem dunia terletak sangat jauh dari kenyataan, dan mengapa terjadinya sebuah sistem universal seperti itu kiranya tidak dapat diidentikkan dengan globalisasi. Pertama, situasi di dalam setiap negara di dunia berkaitan dengan kompleksitas internalnya seperti kelompok-kelompok etnis dan religius, berbagai macam minoritas dan orientasi-orientasi politis sudah begitu rumit, begitu berwarna-warni, begitu tumpang tindih dan begitu fragmentaris sehingga pencarian akan sebuah totalitas bukanlah benang merah yang dapat dipercaya lagi. Sebuah dunia yang tunggal, demikian tulis Cliffort Geertz, terletak begitu jauh bagaikan masyarakat tanpa kelas.
Kedua, globalisasi mencakup proses-proses yang sangat rumit yang tidak mengarah pada saling pengertian di antara bangsa-bangsa, negara-negara dan kebudayaan-kebudayaan, melainkan bahkan sering menggiring ke arah konflik-konflik di antara mereka. Proses globalisasi itu sama sekali bukan sebuah penerimaan pasif atas unsur-unsur kebudayaan asing atau sebuah sintesis antara unsur-unsur kebudayaan sendiri dan unsur-unsur kebudayaan asing. Sebagai unsur kontak-kontak kebudayaan globalisasi dimuati dengan ambivalensi: Proses itu membuka kemungkinan perjumpaan kebudayaan sekaligus benturan kebudayaan-kebudayaan. Orang sudah mempelajari ambivalensi itu di dalam kontak kebudayaan yang memulai hubungan antara kebudayaan Barat modern dan kebudayaan-kebudayaan lain, yaitu melalui hubungan-hubungan kebudayaan yang eurosentris, melalui penjajahan atas bangsa-bangsa lain, melalui kolonialisme.
Ketiga, kenyataan historis tersebut, pengalaman negatif selama kolonialisme itu tidak dapat dilupakan begitu saja dan masih saja bercokol di dalam memori kolektif kebudayaan-kebudayaan yang dulu dijajah oleh Barat. Kolonialisme secara brutal merusak tradisi-tradisi pribumi dan pranata-pranata sosial yang ada, dan efek-efeknya sampai sekarang terbukti dalam ketertinggalan-ketertinggalan struktural jangka panjang. Warisan kolonialisme terjangkar kuat di dalam mentalitas bangsa-bangsa yang dulu dijajah. Kolonialisme adalah, seperti dikatakan oleh Franz Nuscheler dengan mengacu pada Franz Fanon, kolonisasi otak. Karena itu memori kolektif akan pengalaman negatif ini memotivasi perlawanan-perlawanan terhadap Barat. Terutama jika menyangkut globalisasi nilai-nilai dan norma-norma, orang akan mempersoalkan apakah hubungan antara Barat dan kebudayaan-kebudayaan lainnya, entah sadar atau tidak, terstruktur oleh kriteria eurosentris dan apakah globalisasi juga berarti europaisasi.
Karena itu selain tentang globalisasi orang juga berbicara tentang partikularisasi, regionalisasi, atau dalam konteks Asia asiatisasi. Propagasi mengenai nilai-nilai Asia dapat dilihat dalam konteks partikularisasi ini. Bila globalisasi terstruktur terutama oleh sistem-sistem nilai yang lahir di Barat, partikularisasi dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Nilai-nilai Barat yang mengklaim diri sebagai universal dapat diasalkan kepada tuntutan dasar Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis yang dapat kita rangkum dalam konsep hak-hak asasi manusia. Nilai-nilai ini disahkan oleh banyak negara sebagai hak-hak dasar (Grundrechte). Tindakan-tindakan pembebasan dari tuan-tuan penjajah persis mengacu pada nilai-nilai tersebut. Lalu dapatkah nilai-nilai tersebut langsung diterapkan ke seluruh dunia?
Keadaan Realpolitik tidak sebegitu mudah. Hak-hak asasi manusia yang pelaksanaannya ditentukan oleh negara-negara Barat kepada negara-negara lain dirasakan sebagai nilai-nilai yang asing dan merangsang reaksi-reaksi yang sengit dari pihak pemerintah-pemerintah di Asia Timur. Perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat yang dilakukan dalam busana nilai-nilai Asia ini barangkali tidak bersumber dari perbedaan-perbedaan kultural, melainkan dari pengalaman akan kolonialisme yang dialami oleh bangsa-bangsa di Asia. Nuscheler dengan tepat menyebut perlawanan itu konflik dekolonialisasi yang terlambat. Pertarungan melawan Barat dilanjutkan dengan sarana-sarana baru, yakni dengan nilai-nilai kultural. Para penyokong nilai-nilai Asia mencoba melindungi diri mereka dari intervensi asing terhadap urusan internal mereka, dengan cara menunjukkan keberlainan kebudayaan mereka sendiri.
Ket. klik warna biru untuk link
Download
Sumber
Hardiman, F. Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta
Post a Comment