Ibnu Miskawaih. Riwayat Hidup

Table of Contents
Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad (Muhammad) bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy, belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad, serta wafat di Isfahan. Tanggal kelahirannya tidak jelas. Menurut Margoliouth, tahun 330 H/941 M, tetapi menurut kami tahun 320 H/932 M, jika bukan pada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa bersama Al-Mahallabi yang menjabat sebagai wazir pada 339 H/950 M dan meninggal pada 352 H/963 M, yang pada masa itu paling tidak ia telah berusia sembilan belas tahun. Ibnu Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathir Al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Gelar Guru ketiga setelah Al-Farabi disandangkan kepada Ibnu Miskawaih karena dikenal sebagai seorang ilmuwan agung. Ia merupakan ilmuwan hebat yang juga dikenal sebagai seorang filsuf, penyair, dan sejarawan yang sangat terkenal.

Ibnu Miskawaih adalah seorang bendahara penguasa Dinasti Buwaihi dan anggota intelektual At-Tauhidi dan Al-Sijistani. Sebagai bendahara penguasa Dinasti Buwaihiyyah ‘Adhud Al-Daulah, ia banyak terlibat dalam segi praktis masyarakatnya, sementara sebagai anggota kelompok intelektual termasuk At-Tauhidi dan As-Sijistam, ia banyak memberikan andil bagi perdebatan teoretis pada masa itu. Meskipun banyak orang sezamannya meremehkan karya-karyanya, belum lagi orangnya, ia adalah seorang pemikir menarik yang banyak memperlihatkan ragam gaya masanya. Miskawaih menulis sejumlah topik yang luas, seperti dilakukan oleh banyak orang sezamannya, meskipun muncul pertanyaan mengapa karyanya kurang terkenal dibandingkan dengan karya-karya Ibnu Sina, segala yang kita ketahui tentangnya saat ini memberikan bukti sejumlah sumbangan menarik bagi perkembangan pemikiran filsafat. Dalam filsafat, klaim utama Miskawaih yang perlu diperhatikan terletak pada sistem etikanya yang tersusun dengan baik. Dengan pengalamannya yang terlibat secara praktis dengan kekuasaan dan masyarakat, ia sering memberikan pandangannya dalam berbagai hidup ke masyarakat.

Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, ia lebih memusatkan perhatian pada sejarah dan akhlak. Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakr Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibnu Al-Khammar. Ahmad ibnu Muhammad ibn Ya’qub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula Abu Ali Al-Khazim.

Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh Al-Thabari, kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadhi (350 H/960 M). Ibn Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji alkimia bersama Abu Ath-Thayyib Ar-Razi, seorang ahli kimia. Dari beberapa pernyataan Ibnu Sina dan At-Tauhidi tersirat bahwa Miskawaih tidak mampu berfilsafat. Sebaliknya, Iqbal menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.

Miskawaih pernah bekerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan dengan sejumlah wazir dan amir bani Buwaihi, yaitu bersama Abu-Fadhl ibn Al-‘Amid (360 H/970 M) sebagai pustakawannya. Setelah wafatnya Abu-Fadhl (360 H/970 M), ia mengabdi kepada putranya Abu Al-Fath Ali bin Muhammad ibn Al-‘Amid, dengan nama keluarga Dzu Al-Kifayatain. Ia juga mengabdi kepada Adud Al-Daulah, salah seorang Buwaihi, kemudian kepada beberapa pangeran lain dari keluarga terkenal itu. miskawaih meninggal pada 9 Safar 421 H/16 Februari 1030 M. 


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 


Download

Baca Juga
1. Ibnu Miskawaih. Karya Filsafat
2. Ibnu Miskawaih. Pemikiran Filsafat
3. Ibnu Miskawaih. Filsafat Etika
4. Ibnu Miskawaih. Filsafat Ketuhanan
5. Ibnu Miskawaih. Teori Evolusi dan Keabadian Roh
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment