Wanita dalam Sosiologi Awal

Table of Contents
Sejarah Perkembangan Sosiologi: Wanita dalam Sosiologi Awal
Perkembangan Sosiologi
Bersamaan dengan perkembangan-perkembangan di Universitas Chicago yang sudah dilukiskan dalam postingan sebelumnya, kadang bahkan selaras dengannya, dan pada saat yang sama ketika Durkheim, Weber, dan Simmel sedang menciptakan sosiologi Eropa, dan kadang juga selaras dengan mereka, sekelompok wanita yang membentuk jaringan luas dan sangat berkaitan dengan karya para pembaru sosial juga sedang mengembangkan teori-teori sosiologis perintis. Para wanita tersebut antara lain Jane Addams (1860-1935), Charlotte Parkins Gilman (1860-1935), Anna Julia Cooper (1858-1964), Ida Wells-Bernett (1862-1931), Marianne Weber (1870-1954), dan Beatrice Potter Webb (1858-1943).

Mungkin selain Cooper, mereka semua dapat dikaitkan lewat hubungan mereka dengan Jane Adams. Kalau sekarang mereka tidak dikenal atau tidak diakui sebagai sosiolog atau teoretisi sosiologis di dalam sejarah konvensional sosiologi, itulah kesaksian yang mengerikan akan kekuasaan politik gender di dalam disiplin sosiologi, dan sikap tidak reflektif dan tidak kritisnya sosiologi dalam menafsirkan praktik-praktiknya sendiri. Kendati teori sosiologis masing-masing wanita tersebut adalah produk usaha teoretis individual, bila karya mereka dibaca secara kolektif, karya mereka menggambarkan pernyataan teori sosiologis feminis awal yang koheren dan saling melengkapi.

Tanda-tanda utama teori-teori mereka—mungkin sebagian dari tanda itulah yang membuat mereka diabaikan di dalam perkembangan sosiologi profesional—meliputi: (1) penekanan pada arti penting pengalaman, kehidupan, dan pekerjaan wanita yang setara dengan laki-laki; (2) kesadaran bahwa mereka berbicara dari sudut pandang yang bersituasi dan berwujud sehingga, sebagian besar, tidak senada dengan objektivitas angkuh yang dihubungkan oleh teori sosiologis jantan dengan pembuatan teori yang otoritatif (Lemert, 2000); (3) ide bahwa maksud sosiologis dari teori sosiologis adalah pembaharuan sosial—yakni, tujuannya adalah untuk meningkatkan kehidupan manusia melalui pengetahuan; dan (4) klaimnya bahwa masalah utama untuk ameliorasi pada masa mereka adalah ketidaksetaraan. 


Hal yang membedakan sebagian besar sosiolog wanita tersebut antara yang satu dengan yang lain ialah pandangan mereka mengenai hakikat dan obat penyembuh bagi ketidaksetaraan yang menjadi fokus perhatian mereka—gender, ras, atau kelas, atau persilangan faktor-faktor tersebut. Akan tetapi, semua wanita itu menerjemahkan pandangan-pandangan mereka ke dalam aktivisme sosial dan politis yang membantu membentuk dan mengubah masyarakat-masyarakat Atlantik Utara tempat mereka tinggal. Bagi mereka, dalam mempraktikkan sosiologi, aktivisme itu sama pentingnya dengan penciptaan teori. Mereka percaya bahwa di dalam ilmu sosial, riset adalah bagian dari pelaksanaan teoretis dan aktivitas sosiologi dan mereka adalah para inovator metode ilmu sosial yang sangat kreatif.

Ketika disiplin sosiologi yang sedang berkembang meminggirkan para wanita itu dalam kedudukan mereka sebagai sosiolog dan teoretisi sosiologis, metode-metode riset mereka kerap dimasukkan ke dalam praktik-praktik sosiologi itu sendiri, sambil menjadikan aktivisme mereka sebagai alasan untuk mendefinisikan para wanita tersebut sebagai bukan sosiolog. Oleh karena itu, mereka lebih dikenang sebagai aktivis sosial dan para pekerja sosial ketimbang sebagai sosiolog. Warisan mereka adalah suatu teori sosiologis yang merupakan panggilan untuk bertindak dan juga berpikir.


Ket. klik warna biru untuk link

Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment