Al-Ghazali. Riwayat Hidup

Table of Contents
Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali, tetapi ia lebih dikenal dengan Al-Ghazali. Ia lahir di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah (450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar hujjat al-Islam (bukti kebenaran agama Islam) dan zayn al-din (perhiasan agama).

Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Ia belajar agama di Kota Thus, kemudian meneruskan di Kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam Juwaini sampai Juwaini wafat pada tahun 478 H/1058 M.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang wara’ yang hanya makan dari jerih payahnya sebagai pemintal dan penjual wol. Pada waktu-waktu senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh agama dan para ahli fiqh di berbagai majelis dan khalwat mereka untuk mendengarkan nasihat-nasihatnya. Pribadi dan sifat-sifat ayah Al-Ghazali tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya yang mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.

Ayahnya wafat ketika Al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad, masih kanak-kanak. Menjelang wafatnya, sang ayah berwasiat kepada salah seorang teman dekatnya dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya. Ia berkata, Saya sangat menyesal karena tidak belajar. Saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya. Didiklah keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan untuk mengurus keperluannya.

Sang sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Ia sangat serius memerhatikan kepentingan pendidikan dan moralitas kedua anak temannya ini sampai peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika merasa tidak mampu lagi membiayai kehidupan kedua anak itu, sang sufi berkata kepada Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, Ketahuilah bahwa saya telah membiayai kalian sesuai dengan harta kalian berdua yang dititipkan kepada saya. Kalian tahu bahwa saya adalah orang miskin yang hidup mengasingkan diri hingga saya tidak mempunyai harta benda yang bisa dipergunakan untuk membiayai kalian berdua. Saya sarankan kalian berdua untuk pergi ke sekolah yang menyediakan beasiswa. Sebab kalian berdua adalah orang yang menuntut ilmu. Semoga kalian berdua berhasil sesuai dengan bekal yang kalian miliki.

Setelah belajar dari sufi tersebut, Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke salah satu sekolah agama di daerahnya, Thus. Di sini ia belajar ilmu fiqh kepada salah seorang ulama yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razakani At-Thusy. Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan untuk belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Abu Nashr Al-Isma’ily.

Di Jurjan, Al-Ghazali menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia menulis komentar tentang ilmu fiqh. Akan tetapi, menurut sebuah cerita, di tempat ini ia mengalami musibah. Semua barang yang dibawanya berisi buku-buku catatan dan tulisannya dirampas oleh perampok meskipun barang-barang tersebut dikembalikan setelah Al-Ghazali berusaha keras untuk memintanya kembali.

Kejadian tersebut mendorong Al-Ghazali untuk menghapal semua pelajaran yang diterimanya. Ketika kembali ke Thus, ia berkonsentrasi untuk menghafal semua yang pernah dipelajarinya selama lebih kurang tiga tahun. Dengan demikian, apabila ia dirampok lagi, ia tidak akan kehilangan ilmu yang dipelajarinya. Setelah merasa bahwa pengetahuan yang ada di Thus tidak cukup memadai untuk membekalinya, Al-Ghazali pergi ke Naisabur, salah satu dari sekian kota ilmu pengetahuan yang terkenal pada zamannya. Di sini ia belajar ilmu-ilmu populer pada saat itu, seperti belajar tentang mazhab-mazhab fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ariah paling terkenal pada masa itu dan profesor terpandang di Sekolah Tinggi Nizamiyah di Naisabur.

Pada tahun-tahun berikutnya, Al-Ghazali sangat mendambakan untuk mencari pengetahuan yang dianggap mutlak benar, yaitu pengetahuan yang pasti, yang tidak bisa salah dan tidak diragukan sedikit pun sehingga kepandaian dan keahliannya dalam berbagai ilmu dapat melebihi kawan-kawannya. Al-Ghazali belajar di Naisabur hingga Imam Al-Haramain wafat pada tahun 478 H/1085 M.

Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’aska untuk menghadiri pertemuan atau majelis yang diadakan oleh Nizam Al-Muluk, Perdana Menteri daulah bani Saljuk. Di majelis tersebut berkumpul pada ulama dan fuqaha’ dan Al-Ghazali ingin berdiskusi dengan mereka. Kemampuan Al-Ghazali dalam berdiskusi dan berargumentasi mengalahkan para ulama setempat dalam mudadharah. Hal tersebut membuat Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan oleh Nizam Al-Muluk. Begitu besar penghormatan itu sehingga Nizam Al-Muluk memberikan kepercayaan kepada Al-Ghazali untuk mengelola madrasah Nizamiyah di Baghdad.

Al-Ghazali pun pergi ke Baghdad untuk mengajar pada madrasah Nizamiyah pada tahun 484 H/1090 M. Di sana ia melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga banyak orang memadati halaqahnya. Namanya kemudian menjadi terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa tentang masalah-masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, Al-Ghazali mulai menulis beberapa buku, di antaranya tentang fiqh dan ilmu kalam, serta kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran Bathiniyah (salah satu aliran dari sekte Syi’ah), aliran Syi’ah Isma’illiyah, dan falsafah.

Setelah satu tahun berada di kota Baghdad, kemasyhuran nama Al-Ghazali sampai ke Istana Khalifah Abbasiyah. Khalifah Muqtadi bi Amrillah (memerintah 467-487 H/1074-1094 M) tertarik kepadanya sehingga pada tahun 485 H ia mengutus Al-Ghazali untuk menemui permaisuri Raja Malik Syah dari bani Saljuk, yaitu Terkanu Khatun, yang pada saat itu memegang kendali kekuasaan pemerintahan di belakang layar untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi.

Di Baghdad inilah Al-Ghazali menikmati pangkat, kehormatan, harta, dan kedudukan yang didambakan. Akan tetapi, kemuliaan dan kedudukan yang ia peroleh di Baghdad tidak berlangsung lama, akibat berbagai peristiwa atau musibah yang menimpanya, baik itu pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan daulah bani Saljuk. Musibah-musibah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pada tahun 484 H/1092 M wafatnya Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana
2. Pada tahun 485 H/1093 M Perdana Menteri Nizam Al-Muluk yang menjadi sahabat karib Al-Ghazali dibunuh oleh pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi.
3. Pada tahun 487 H/1094 M wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.

Bagi Al-Ghazali, ketiga orang tersebut merupakan orang-orang yang banyak memberikan peran kepada Al-Ghazali, bahkan menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.

Mengingat ketiga orang tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap pemerintahan bani Abbas—yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah bani Saljuk—wafatnya ketiga orang tersebut mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadlhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Mereka mengalami kesulitan untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana, terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nizam Al-Muluk.

Dalam suasana yang sangat kritis itulah penguasa tinggi Abbasiyah, Khalifah Mustadhir Bilah meminta kepada Al-Ghazali untuk terjun dalam gelanggang politik dengan menggunakan penanya. Bagi Al-Ghazali tidak ada pilihan lain, kecuali memenuhi permintaan itu. Ia tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’ih Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhir) yang disingkat dengan judul Mustadlhiry.

Buku tersebut disebarluaskan di tengah masyarakat umum hingga simpati masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah dapat direbut kembali. Terjadi gerakan menentang aliran Bathiniyah. Akan tetapi, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti melakukan kekacauan dan pembunuhan di mana-mana sehingga pemerintah Abbasiyah merasa kewalahan menghadapi aksi teror mereka.

Desakan Al-Ghazali kepada Khalifah Mustadhir untuk menggerakkan seluruh kekuatan negara untuk membasmi aksi-aksi teror itu tetap terbentur oleh kelemahan pemerintah di mana-mana. Hingga akhirnya, Al-Ghazali mulai merasakan bahwa aksi teror itu ditujukan kepada dirinya karena karangannya yang menentang aliran mereka.

Sejalan dengan situasi politik itu, pada tahun 488 H/1095 M, Al-Ghazali merasakan krisis rohani, yaitu munculnya keraguan dalam dirinya tentang masalah akidah dan semua jenis ilmu pengetahuan, baik yang empiris maupun yang rasional. Krisis tersebut berlangsung selama dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studinya tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, dan falsafah, serta menulis beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti falsafah, fiqih, dan lain-lain. Akan tetapi, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, pada tahun itu juga, bertekad untuk meninggalkan Kota Baghdad, berhenti dari seluruh jabatannya, termasuk jabatannya sebagai rektor Universitas Nizamiyah.

Dengan membawa bekal secukupnya, Al-Ghazali meninggalkan Kota Baghdad pergi ke Syam, menetap di sana selama dua tahun, untuk berkhalwat melatih batin dan berjuang keras membersihkan diri, mendidik akhlak, dan menyucikan hati dengan mengingat Tuhan, serta beri’tikaf di masjid Damaskus dengan mengurung diri di menara masjid pada siang hari.

Tidak puas dengan berkhalwat di masjid Damaskus, pada tahun 490 H/1098 M ia menuju Palestina mengunjungi Kota Hebron dan Jerusselem, tempat para nabi sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapatkan wahyu pertama dari Allah. Di tempat ini ia berharap mengobati penyakit bimbangnya itu. Ia berdoa di dalam masjid Bayt Al-Muqaddas, masuk ke dalam Shakhrah dan menguncinya dari dalam seraya memohon kepada Allah agar diberi petunjuk sebagaimana yang telah dianugerahkan kepada para Nabi.

Ketika kota tersebut dikuasai tentara salib, Al-Ghazali meninggalkan Palestina, terutama setelah jatuhnya Kota Jerusselem pada tahun 492 H/1099 M. Ia berangkat ke Mesir, pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam setelah Baghdad, tetapi hanya sebentar. Menurut Zwemer, hal ini dikarenakan sarjana-sarjana dan para ulama di Al-Azhar tidak memberikan sambutan yang baik atas kunjungannya itu. Alasan ini ditentang oleh Sulaiman Dunya. Ia mengatakan bahwa penyebabnya adalah perbedaan paham yang prinsipiil antara Universitas Nizamiyah di Baghdad yang berhaluan Ahlu Al-Sunnah dan Universitas Al-Azhar di Kairo yang berhaluan Syi’ah.

Dari Kairo ia melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya, Muhammad bin Taumart (1087-1130 M) yang telah merebut kekuasaan dari tangan kaum Murabithun dan mendirikan pemerintahan baru bernama Daulah Muwahhidun. Akan tetapi, dengan alasan yang tidak jelas, ia tidak jadi berangkat. Hal ini disebabkan munculnya niat untuk melaksanakan ibadah haji. Ia berangkat ke Mekah dan selanjutnya ke Madinah untuk menziarahi makam Nabi Ibrahim. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berpindah-pindah tempat, dari Syam, Buyt Al-Muqaddas, Mesir, Hijaz, pada tahun 499 H/1105 M, atas panggilan kerinduan terhadap anak-anaknya dan panggilan cinta terhadap keluarga, Al-Ghazali kembali ke Naisabur.

 
Pada saat yang sama, salah seorang putra dari Raja Malik Syah, Sanjar, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Khurasan, mengangkat Fakhru Al-Muluk, putra Nizam al-Muluk, menjadi perdana menterinya. Sebagaimana ayahnya, ia memanggil Al-Ghazali dan mengangkatnya menjadi Rektor Universitas Nizamiyah di Naisabur.

Al-Ghazali memegang jabatan tersebut dan ia mendirikan madrasah fiqh yang khusus untuk mempelajari ilmu hukum. Selain itu, ia juga membangun asrama (khanqah) untuk melatih mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya, Thus.

Setelah Fakhru Al-Muluk terbunuh pada tahun 500 H/1107 M, Al-Ghazali kembali ke tempat asalnya, Thus. Di sana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Qur’an, menelaah hadist, dan mengajar. Ia wafat pada hari senin, 14 Jumadil A-Akhir 505 H/18 Desember 1111 M dalam usia 55 tahun. Ia meninggalkan tiga orang anak perempuan, sedangkan anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal sebelum Al-Ghazali wafat.

Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tersebut tidak berhenti pada hasil karya individual, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Asy-Syahrastani (w. 548 H) sebagai pemikir yang sezaman dengan Al-Ghazali menggambarkan banyaknya aliran pemikiran pada waktu itu yang didasarkan pada pandangan terhadap persoalan-persoalan tertentu.

Dalam hal ini Al-Ghazali menggolongkan aliran-aliran tersebut berdasarkan cara mereka dalam menemukan kebenaran. Berdasarkan penggolongan tersebut, menurut Al-Ghazali, ada empat aliran yang populer, yaitu: ahli kalam, para filsuf, golongan ta’lim, dan para sufi.

Ahli kalam dan para filsuf mencari kebenaran dengan menggunakan akal walaupun keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip menggunakan akal itu. golongan ta’lim dalam mencari kebenaran menekankan otoritas imam, sedangkan para sufi dalam mencari kebenaran menggunakan dzauq (perasaan atau intuisi).


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 


Download

Baca Juga
1. Al-Ghazali. Karya Filsafat
2. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
3. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
4. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam
5. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat
6. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
7. Al-Ghazali. Metafisika
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment