Cara Ilmuwan Muslim dalam Menggali dan Mengembangkan Ilmu

Table of Contents
Cara Ilmuwan Muslim dalam Menggali dan Mengembangkan Ilmu
Ilmuwan Muslim
Untuk mengawali pembahasan ini, perlu menengok sejenak kembali tentang sejarah pemikiran manusia, bahwa ditinjau dari segi sejarah terdapat dua pola di mana manusia dapat memperoleh pengetahuan. Pertama, secara rasional (rasionalisme) dan yang kedua pola empiris (empirisme). Kedua pola ini muncul pada abad XVII, di mana pola empiris ini, berawal dari sarjana-sarjana Islam yang kemudian terkenal di dunia Barat lewat tulisan Francis Bacon (1556-1626) dalam bukunya Novum Orgasum (1620). Begitu pula pola berpikir rasional sebenarnya dikenal oleh ahli-ahli pikir Barat lewat pembahasan ahli-ahli filsafat Islam terhadap Yunani yang dilakukan antara lain oleh al-Kindi (809-873), al-Farabi (881-961), Ibnu Sina (980-1037) dan Ibnu Rusyd (1126-1198).

Di samping itu pula, al-Qur’an pada dasarnya telah mendasari kedua pola berpikir tersebut, untuk pola berpikir rasional yang biasa melalui proses deduktif, ini jelas dapat diambil dari ayat-ayat al-Qur’an (yaitu suatu pernyataan yang bersifat umum, atau dari teori-teori ilmiah), sedangkan pola berpikir empiris yang biasa melalui proses induktif, dasarnya dapat ditemukan dalam ayat: Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu; tanam-tanaman, Zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. An-Nahl [16]: 11).

Ayat ini menunjukkan, dengan akalnya manusia diperintahkan oleh Allah agar memerhatikan kenyataan-kenyataan alam empiris, agar mendapatkan ilmu dan petunjuk keimanan (induktif).

Kedua pola berpikir rasional dan empiris yang aplikasinya melalui pendekatan deduktif dan induktif masing-masing terdapat kekurangan. Ide tentang kebenaran yang menjadi dasar bagi pengetahuan, dapat diperoleh melalui berpikir secara rasional, terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara koheren di atas landasan-landasan, pernyataan-pernyataan yang sudah pasti. Namun, perlu disadari, bahwa dari manakah dapat didapatkan kebenaran yang sudah pasti bila kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata?

Begitu pula pola berpikir empiris juga tidak dapat mendekatkan kepada kebenaran yang sebenarnya, karena fakta empiris semata tidak mampu berkata apa-apa, ia masih membutuhkan penafsiran, artinya harus dicari sisi rasionalnya. Oleh karena itu harus dicari metode baru yang dapat diandalkan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Maka muncullah metode keilmuan, gabungan antara pendekatan rasional dan empiris. Maksudnya adalah bahwa rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan dalam memastikan suatu kebenaran.

Secara singkat dapat dikatakan, bahwa cara kerja metode keilmuan ini adalah pertama seorang peneliti awalnya harus bersikap skeptis terhadap suatu masalah tertentu, lalu melangkah berpikir secara teoretis dengan pendekatan deduktif yang pada dasarnya merupakan proses berpikir logis dan rasional. Dengan demikian berarti ia telah mengajukan suatu teori yang harus didekati dengan pendekatan empiris terlebih dahulu. Sampai di sini berarti pikiran seseorang baru berada pada tingkatan hipotesis, kemudian hipotesis ini diuji secara empiris. Apabila pengujian secara empiris ini mendukung hipotesis yang diajukan, maka hipotesis tersebut adalah benar secara keilmuan, dan kebenaran di sini memiliki sifat keabsahan secara keilmuan.

Terkait dengan pendekatan deduktif yang mengacu kepada teori yang ditemukan secara ilmiah, tidak menimbulkan masalah, karena ada kemungkinan teori itu telah dikalahkan oleh hasil penelitian empiris yang baru, sehingga teori lama dikalahkan oleh teori baru. Namun seandainya pada tahap deduktif seseorang menggunakan atau mengacu kepada ayat-ayat al-Qur’an yang sudah diyakini kebenarannya, dan jika ternyata tidak sesuai dengan hasil pengujian empiris, maka akan terdapat dua kemungkinan. Pertama, dimungkinkan bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat itu tidak tepat; dan yang kedua, bisa jadi justru pengujian empirisnya tidak tepat.

Terhadap hal yang pertama, maka harus dilakukan penafsiran yang rasional dan kontekstual. Sehingga terhadap masalah yang kedua, pengujian perlu diulangi kembali, dan memang sebuah pengujian harus berulang kali. Tapi yang prinsip adalah bahwa antara ayat-ayat al-Qur’an dan hasil penemuan ilmiah tidak boleh bertentangan. Karena semuanya bersumber yang satu, yaitu Allah, dan ilmu yang dihasilkan dengan pengujian empiris pun termasuk sunnah Allah.

Di samping itu cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan metode keilmuan di atas, masih terdapat cara lain, yaitu pewarisan pengalaman. Ali Abdul Adhim, menyatakan bahwa, dalam al-Qur’an tertera sebagai berikut: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal, atau yang menggunakan kebenarannya, sedangkan ia menyaksikannya (QS. Qaf [50]:37).

Memerhatikan ayat tersebut di atas terdapat kandungan adanya dua cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yang pertama menggunakan akal, yang dibenarkan dengan pengujian empiris, dan yang kedua dengan cara menggunakan atau memanfaatkan pengalaman orang lain baik dari kalangan generasi terdahulu maupun sekarang. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan dalam ayat lain: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7).

Cara kedua ini menurut terminologi Barat tidak termasuk ilmu dalam arti menggunakan metode keilmuan, karena tidak didukung oleh pengujian empiris. Namun demikian, cara yang seperti ini menurut perspektif al-Qur’an juga termasuk ilmu.

Akhirnya sangat bijaksana, jika ilmuwan muslim dapat menggali ilmu dari mana saja datangnya dengan metode apa saja, walau datangnya dari ilmuwan non muslim. Dengan demikian aktivitas penggalian ilmu ini secara terbuka, dapat menerima apa saja datangnya ilmu itu. Hal ini karena kita mendapat ajaran dari agama kita, agar kita mencari ilmu apa saja, dan ke mana saja ilmu itu berada, yang terpenting bagi kita adalah menyikapi ilmu tersebut dengan wawasan islami. Sedangkan bagaimana cara ilmuwan Muslim mengembangkan ilmu, hal ini tidak terlepas dari pembahasan tentang hakikat ilmu (ontologi) dan cara memperoleh ilmu (epistemologi). Berkenaan dengan masalah ini Jujun S. Suriasumantri mengatakan: Telah kita maklumi bahwa hakikat keilmuan adalah tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang dengan dinamika yang dipercepat. Selanjutnya ia menyatakan ilmu tidak lagi dianggap sebagai barang jadi yang siap untuk dikonsumsi, melainkan merupakan suatu produk dari suatu proses berpikir yang mempunyai karakteristik dan akar penalaran tertentu. Paradigma ilmu sebagai suatu proses berpikir dan bukan semata produk merupakan azas berpikir pertama yang harus dikembangkan.

Oleh karena objek keilmuan selalu berubah dan berkembang dan ilmu itu sendiri sebagai proses, maka sudah tentu dalam pengembangan ilmu memerlukan konsekuensi-konsekuensi yang dinamis. Konsekuensi yang dimaksud ialah melalui; pengembangan mutu pendidikan, memperbanyak penelitian, memerlukan kekayaan teori, dan adanya usaha mensosialisasikan ilmu.

Suatu hal yang tidak kalah pentingnya, untuk menopang tanggung jawab para ilmuwan Muslim dalam usaha mengembangkan kualitas ilmiahnya, adalah melihat fakta sejarah masa kejayaan Islam masa lampau (meski belum diadakan penelitian secara khusus, komprehensif dan definitif) tentang bangkit dan mundurnya sains dan teknologi Islam di masa itu. adalah Oesman Bakar yang mengajukan beberapa faktor historis, untuk dijadikan i’tibar, demi kemajuan di masa mendatang. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Peran kesadaran religius sebagai daya dorong untuk menuntut sains dan teknologi, sehingga pemahaman yang benar tentang semangat tauhid akan mengalirkan penghargaan terhadap pengetahuan. Artinya, akan terjadi penyebaran secara luas ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan pengetahuan dalam seluruh aspeknya.
2. Ketaatan pada syari’ah pada gilirannya akan mengilhami studi atas berbagai ilmu.
3. Kelahiran dan kebangkitan gerakan penerjemahan besar-besaran yang bertahan selama beberapa abad. Gerakan penerjemahan dalam Islam klasik merupakan yang terbesar dalam sejarah penyebaran pengetahuan dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
4. Suburnya filsafat yang ditujukan pada pengajaran, kemajuan, dan pengembangan ilmu.
5. Luasnya santunan bagi aktivitas sains dan teknologi oleh para pengusaha dan wazir.
6. Adanya iklim intelektual yang sehat sebagaimana diilustrasikan oleh fakta, bahwa para sarjana dari berbagai mazhab pemikiran (hukum, teologi, filosofis, dan spiritualis) melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional, tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan Ibnu Sina dan al-Biruni pada abad X merupakan salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah intelektual Islam.
7. Peran penting yang dimainkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan ilmiah, terutama dengan adanya universitas-universitas.
8. Keseimbangan yang dicapai oleh perspektif-perspektif intelektual Islam yang utama.
Dalam corak yang sedikit berbeda, Ismail Raji al-Faruqi mengetengahkan pendapatnya dalam usahanya merekrut ilmu-ilmu modern dengan memberikan wawasan islami, sebagai berikut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
4. Pencarian sintesis kreatif khazanah Islam dengan ilmu modern
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langkah harus diambil menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing langkah tersebut.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment