Epistemologi Studi Islam

Table of Contents
Epistemologi Studi Islam
 Studi Islam
Adalah merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan. Perbedaan dalam memilih keyakinan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan epistemologik. Rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi, merupakan paham-paham epistemologi yang mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri dalam batas-batas validitas pengetahuan yang telah dicapai.

Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung kepada karakteristik materi itu sendiri: apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris (sensual), rasional, atau hermeneutis? Bila materi studi Islam mempunyai karakteristik empiris (sensual), maka metode yang tepat adalah observasi, eksperimen, dan induktif-inferensial (untuk analisisnya, karena berawal dari empiris dan dicari dari abstraksinya untuk memperoleh generalisasi). Bila materi studi Islam memiliki karakteristik rasional/aksiomatik, maka metode analisisnya yang tepat adalah metode deduktif (berawal dari konsep abstrak yang lebih umum dan dicari yang lebih spesifik atau konkret). Noeng Muhajir menawarkan metode reflektif, yaitu metode analisis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dan yang abstrak. Empiri yang kasus dapat saja menstimulasi berkembangnya konsep abstrak yang luas, dan menjadikannya mampu melihat relevansi empiri pertama dengan empiri-empiri lain yang termuat dalam konsep abstrak yang baru dibangun.

Selain itu materi yang empiris (sensual) umumnya terukur dan teramati, oleh karenanya sering didekati secara kuantitatif; hubungan antarvariabelnya bersifat linier (korelasi, kasual atau interaktif). Adapun materi yang hermeneutis (juga rasional, terutama dari ilmu qawliyyah) umumnya tidak terukur dan teramati, tetapi lebih menuntut pencarian esensi (makna yang dalam). Oleh karena itu sering didekati secara kualitatif: hubungan antarvariabelnya lebih bersifat mutual simultan.

Dalam memburu pengetahuan, dipertanyakan juga hubungan antara subjek (pemburu pengetahuan) dan objek (materi pengetahuan). Sekali lagi hubungan antara subjek dan objek bergantung juga kepada karakteristik materi. Bila materi studi Islam memiliki karakteristik empiris (sensual), maka hubungan antara subjek dengan objek adalah pilah, maksudnya subjek terpisah dari objek (ada jarak), tanpa saling pengaruh dan oleh karena itu dapat diobjektifkan. Nilai-nilai subjek diandaikan tidak memengaruhi bekerjanya gejala-gejala pada objek. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya pengujian kembali, baik dengan pengulangan pengamatan maupun dengan eksperimen. Bila materi studi Islam memiliki karakteristik hermeneutis, maka hubungan antara subjek dan objek tidak pilah, maksudnya ada hubungan yang erat dan saling pengaruh yang kuat antara subjek dan objek. Pengujian kembali sulit dimungkinkan terjadi, karena dalam setiap pengulangan objek (tentunya bila berupa manusia) sudah belajar tentang sesuatu dari pengulangan. Bagaimana bila materi studi Islam memiliki karakteristik rasional? Karena materi yang memiliki karakteristik rasional itu hanya yang berupa teks ajaran, maka hubungan antara subjek dan objek dapat bersifat pilah (pada ayat-ayat muhkamat), tapi juga dapat tidak pilah (pada ayat-ayat mutasyabihat).

Prinsip monokhotomis ilmu dalam Islam, bagaimanapun menuntut implikasi epistemologis untuk menciptakan simbiosis dan hubungan yang dinamis-interaktif antara dua kategori ilmu: Ilmu qawliyyah dan ilmu kawniyyah. Implikasi epistemologis yang dimaksudkan adalah perlu dikembangkannya pendekatan multi-disipliner dan inter-disipliner terhadap studi Islam.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
 

Download

Baca Juga
1. Konsep Ilmu Menurut Pandangan Islam
2. Implikasi Konsep Ilmu dalam Pandangan Islam 
3. Ontologi Studi Islam
4. Aksiologi Studi Islam
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment