Postmodernisme di Barat Kemunduran Akal dalam Ketiadaan Bimbingan Tuhan

Table of Contents
Postmodernisme di Barat Kemunduran Akal dalam Ketiadaan Bimbingan Tuhan
Postmodernisme
Di bagian akhir abad kedua puluh, masih terjadi krisis kepercayaan diri mengenai akal yang otonom yakni akal yang memiliki struktur ideal, objektif dan logis yang terlepas dari pandangan-pandangan teologis. Masa ini, orang bahkan bisa mengatakannya sebagai runtuhnya kepercayaan diri (a collapse in confidence), sehingga hal yang cukup serius dan tersebar luas ini menjadi kebingungan kita, yakni mengenai nilai akal. Kebingungan ini tidak hanya terjadi di kalangan akademisi namun juga masuk kepada media umum dan merambah pada kesadaran masyarakat; dan juga melampaui keraguan tentang ilmu pengetahuan alam dan mesin perang menuju pada keraguan tentang pemahaman mapan tentang situasi umat manusia.

Masa krisis kepercayaan diri dari akal ini menggambarkan proses fragmentasi sosial dan juga perubahan sosial menuju hal yang baru, dan juga proses perubahan teknologi yang sangat cepat untuk menentang penyajian terakhir kata-kata selain dinamisme, fluiditas, paradoxalitas dan sebagainya (Bauman: 2000). Meski demikian, para teoretikus sosial yang berupaya untuk memahami situasi ini menyatakan bahwa ini merupakan sebuah periode modernitas akhir (late modernity) atau postmodernitas yang muncul bersamaan dengan transisi ekonomi yang paling produktif, berangkat dari ketergantungan yang besar kepada industri berat menuju ketergantungan besar kepada servis, terutama dalam sektor informasi teknologi. Kenyataan ini mendatangkan transformasi komunikasi yang radikal dan ekonomi tinggi yang besar, hubungan ketergantungan sosial dan budaya dunia.

Karena cepatnya komunikasi, kekuatan produksi, ide, masyarakat, keluarga dan loyalitas juga menjadi objek pemecahan (fragmentation) dan penyusunan kembali (realigment). Formasi masyarakat modern yang unggul seperti konsep negara-negara bangsa menjadi sangat meluas kepada lembaga-lembaga extra nasional seperti pasar global dan sistem informasi dan identitas negara bangsa menjadi kurang stabil. Unit-unit ini—di mana program-program yang berdasarkan ilmu sosial menjadi fokus di abad ke-19 dan lebih inten lagi di abad kedua puluh—kelihatan hampir tidak dapat menjamin keteraturan atau kesejahteraan. Ini adalah sebuah dunia di mana di dalam pengalaman kontinuitas budaya dan koherensi, pengalaman tempat dan hak milik semuanya diancam oleh perpecahan dan penyisihan kembali. Rangkulan dan perayaan fragmentasi budaya ini menandai gerakan-gerakan postmodern dalam bidang arsitektur, seni, musik dan masakan. Dalam teori sosial, fragmentasi ini mendapat pujian, diproduksi kembali secara retoris dan statusnya ditinggikan menjadi teori permainan akhir (end-game theory) melalui gerakan yang diidentifikasikan sebagai gerakan postmodernisme.

Dalam postmodernisme, sebagai sebuah badan dari teori sosial (sebagai kebalikan dari postmodernitas yang dilihat sebagai kondisi sosial objektif yang dapat diamati), akal dinyatakan bangkrut menjadi alat untuk mendemonstrasikan dalil-dalil yang unggul dan universal. Dalam beberapa praktik postmodernisme, akal bahkan dengan sengaja digulingkan kalau penggunaannya melanggengkan kepercayaan diri yang salah dalam pernyataan yang salah dianggap sebagai kebenaran ilmiah. Tepat ketika dunia sosial kita remang-remang, terpecah-belah menjadi kepingan kecil dan berubah bentuk, alat yang telah diciptakan oleh para filsuf era pencerahan dan para humanis ilmu pengetahuan untuk memahami dunia natural akhirnya dibuang.

Meskipun rumusan postmodernisme yang lebih ekstrim terus-menerus menjadi sasaran kritik yang fatal, kiranya tetap penting untuk mengapresiasi kecenderungan intelektual yang sudah membawa gerakan postmodernisme ini, khawatir kalau-kalau kecenderungan ini terlalu cepat dienyahkan. Hal-hal tersebut termasuk: 1) perluasan skeptisisme filosofis menuju pada filsafat ilmu pengetahuan, terutama menentang klaim para positivis terhadap objektivitas; 2) kemajuan-kemajuan dalam bidang studi sosiologi ilmu pengetahuan, yang ketika berinteraksi dengan filsafat ilmu pengetahuan, menyingkapkan bias-bias institusional dalam penegakan konsensus ilmu pengetahuan (sebagai contoh karya Thomas Kuhn); 3) akibat dari marxis dan kritik-kritik teori konflik fungsionalisme struktural yang digeneralisasikan ke dalam sebuah skeptisisme tentang keputusan otoritatif, bahkan dalam ilmu pengetahuan sosial sekalipun; berkaitan dengan itu 4) tumbuhnya kegelisahan dalam antropologi akan akar-akar kolonialnya (contohnya dalam antropologi interpretatif Geertz Post-Weber); dan 5) kemurtadan marxis di hari kemudian khususnya dalam simpati Maois, dalam kebangkitan fail of the gang of four di China (tahun 1976) dan perubahan sasaran kebijakan RRC dari revolusi sosialis menuju semboyan Memperoleh kekayaan adalah menyenangkan. Kemajuan-kemajuan ini membawa pada perhatian yang luas bahwa penggunaan akal melalui apa yang diakui sebagai ilmu pengetahuan sosial hanya menciptakan alat yang berupa ideologi untuk menekan dan ia mendorong penolakan kisah tematik apapun (metanaratif) tentang proses-proses sosial dari sesuatu yang disangka fakta sosial. Singkatnya proyek pencerahan (dan bersamanya visi para humanis) sudah ditinggalkan. Semua klaim tentang validitas universal penemuan ilmu-ilmu sosial dengan demikian ditolak, sedangkan relativisme sempurna (complete relativism) didukung.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Julia Day Howell. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment