Tantangan Postmodernitas terhadap Islam
Table of Contents
Postmodernitas |
Ahmed melemparkan perasaan kerapuhan keluarga—sebagai tempat suci yang ada di dalam diri—yang dirasakan baru-baru ini, sebagai latar belakang bagi permainan ketegangan politik yang lebih lama tapi cukup akut untuk masa sekarang ini antara Muslim mayoritas dan negara-negara Barat. Berbicara mengenai sense of apocalypse (kesadaran tentang wahyu penyingkapan) di antara Muslim di seluruh dunia, Ahmed mengingatkan pengeboman Irak, Sudan dan Afganistan, sebagaimana juga penderitaan orang-orang Islam di tangan orang-orang Kristen di Kosovo dan orang-orang Yahudi di Israel. Setelah mendapatkan penderitaan dan kebingungan emosional, keluarga yang sudah terkepung ini juga mengalami penderitaan fisik akibat perang yang membuat putus asa. Penyebab permasalahan dari kedua kasus di atas dirasakan berada di luar komunitas kepercayaan agama namun memerlukan respons dari dalam. Pertanyaannya adalah apa yang diperlukan untuk merespons masalah di atas secara efektif?
Bagi Bassam Tibi (1988), seorang sosiolog Jerman asal Arab Libanon, baik masalah maupun solusinya semuanya berada di rumah. Seperti Ahmed ia melihat keputusasaan akibat keterbelakangan ini memicu ketidakpuasan di seluruh negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Namun tanpa cara apa pun yang mendasari kebijakan Amerika dan Eropa yang menghukum Irak sebagai contoh, atau dukungan penuh Amerika kepada Israel dalam aksinya menghancurkan Muslim Arab, atau menghilangkan penyebab ekonomi dalam ketidaksetaraan semakin global, ia menemukan bahwa penyebab ketidakpuasan itu sebenarnya ada dalam komunitas Muslim sendiri. Dengan demikian, ia melampaui Ahmed untuk menganalisis kondisi-kondisi budaya yang menyebabkan pembagian kemakmuran Utara/Selatan. Tibi (1988) berpendapat, bahwa negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Amerika Utara masih harus menjalani diferensiasi internal dari subsistem sosial (sebagaimana digambarkan oleh Niklas Luhmann) yang mengizinkan keleluasaan bagi pemikiran yang benar-benar kritis dan independen. Diferensiasi subsistem semacam itu, kata dia, penting bagi kemajuan teknologi dari masyarakat yang sangat maju ekonominya di Barat dan di Timur. Tibi benar-benar menemukan dukungan yang lebih jauh bagi argumennya dalam analisis sejarah Tayeb Tisini terhadap kerajaan Islam abad pertengahan, terhadap efek bahwa pembangunan menuju ekonomi tinggal landas dari perdagangan menuju ekonomi industri telah ditinggalkan ketika karya-karya filsafat dari Ibnu Sinna, Ibn Rusyd, Al-Farabi, Ibn Tufayl dan yang lainnya disingkirkan dan pemikiran ilmiah mulai stagnan (Tisini dalam Tibi 1988:134). Diferensiasi yang muncul pertama kali dalam subsistem ilmu pengetahuan, agama, politik pada saat itu dihalang-halangi.
Dalam gaung analisis Tibi yang tidak sadar dan aneh, pembuatan film dari Iran, Ziba Mirhosseini baru-baru ini menggambarkan pengalamannya sebagai seorang feminis dan progresif di Iran sebelum dan sesudah revolusi 1979. Justru karena kekuatan ulama ditegakkan di dalam negara, ia mengatakan, politik menjadi terdiferensiasi dari ranah agama: ... Segera setelah Anda mendapati (ulama) dalam posisi kekuasaan, mereka harus dapat menjawab dan mereka tidak lagi dapat menggunakan retorika Islam dalam menghadapi politik nyata... dan hal yang menarik di Iran adalah bahwa penciptaan republik Islami menimbulkan pembagian antara politik dan agama yang, saya pikir, selalu eksis dalam Islam, di negara-negara Muslim, namun tidak dalam level ideologi.
Sebagaimana dikatakan Tibi, Iran, sebuah masyarakat yang kompleks di akhir era modern, tampaknya sangat sulit menuju diferensiasi subsistem sosial; Penerapan lembaga-lembaga agama-politik yang relatif tidak dapat didiferensiasi menyingkapkan masalah-masalah yang berkaitan dengan penerapan konsep kekuasaan dari masyarakat yang tidak begitu kompleks dalam sebuah masyarakat modern.
Isu-isu filosofis yang dimunculkan oleh Tibi kemudian diambil oleh pemikir Iran yang terkenal, Abdulkarim Soroush, lagi, dengan concern untuk menguji kembali cara-cara bagaimana ilham-ilham agama, sebagaimana diwujudkan dalam hukum agama, dapat diciptakan untuk merespons keadaan darurat dari kehidupan modern ini. Untuk melakukan hal ini, Soroush langsung melangkah pada isu: dalam pengertian apa hukum-hukum dalam syari’ah—apa pun jenis hukumnya—harus dipahami sebagai keinginan Tuhan yang sebenarnya? Kemudian apa pula landasan keilmuan bagi kita untuk melakukan penerjemahan keinginan Tuhan tersebut? Ia berpendapat bahwa untuk menegakkan landasan bagi pengertian tunggal dan autoritatif itu tidak mungkin. Isu epistemologis ini selanjutnya membawa Soroush kepada isu-isu etis (sebagaimana hal ini juga terjadi pada para humanis Barat): dikarenakan pemahaman yang beragam (multiple interpretations) atas kebenaran itu tidak dapat dihindari, masing-masing kapasitas individual dalam menerima suatu pembenaran perlu dilindungi sehingga kesejahteraan spiritual dan kesalehan sosial mereka bisa tetap diwujudkan dengan baik. Hal ini memerlukan institusi sosial yang dapat mendukung kebebasan individu.
Sebuah analisis interpretatif yang lebih bernuansa sosiologis dan antropologis dalam praktik keberagaman Islam sudah dilakukan oleh seorang Aljazair, Muhammad Arkoun. Dengan pandangan yang menggambarkan interaksinya dengan tokoh postmodern, Arkoun berupaya untuk mendekonstruksi pemikiran ortodoks, dan memahami pemikiran tersebut dengan dikaitkan dengan konteks sosial suatu tempat, di mana pemikiran ortodoks mampu mengerahkan kekuatan untuk menyokong keberadaan mereka. Di sini, kesan hubungan antara institusi manusia (yakni pemahaman terhadap hukum dan langkah yang dilakukan sesuai dengan pemahaman tersebut) dan inspirasi ke-Tuhanan menjadi sangat lemah dan firman Tuhan tampaknya larut ke dalam pemahaman manusia atas inspirasi tersebut.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Julia Day Howell. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download
Post a Comment