Baruch de Spinoza. Filsafat Identitas
Table of Contents
Baruch de Spinoza |
Spinoza dapat disebut pemikir rasionalis paling tajam dan konsekuen di antara para filsuf rasionalisme. Seperti filsuf sezamannya, Thomas Hobbes, Spinoza bermaksud mengonstruksikan sebuah metafisika dan etika more geometrico, secara geometris dengan kepastian apriori yang mutlak, bebas dari segala unsur empiris maupun kebetulan. Ia mau mengembangkannya dari satu prinsip. Prinsip itu adalah kesatuan atau identitas segala-galanya. Segala apa yang ada adalah satu dan sama. Oleh karena itu, filsafat Spinoza merupakan Filsafat Identitas.
Untuk menguraikan pendapat itu, kita dapat mengambil dua jalan. Kita dapat bertolak dari kesan lawannya, dari gejala-gejala empiris yang kelihatannya bukan satu dan sama, melainkan banyak dan beraneka warna, dengan kejadian sehari-hari yang kelihatan tidak pasti melainkan kebetulan; kemudian ditunjukkan bahwa pluralitas itu semu—Spinoza akan mengatakan: kesan yang berdasarkan pengertian yang belum tepat. Kita juga dapat bertolak dari prinsip kesatuan, lalu menunjukkan secara apriori dan deduktif penguraiannya dalam apa yang kelihatan sebagai pluralitas yang kebetulan bagi yang belum mampu untuk mengerti secara benar. Sesuai dengan apriorisme Spinoza di sini dipakai pendekatan yang kedua.
Menurut filsafat Yunani dan skolastik, apa yang ada bersifat substansi. Substansi adalah apa yang berdiri pada dirinya sendiri, yang bukan sekedar sifat atau atribut sesuatu yang lain. Menurut Spinoza, substansi adalah apa yang dapat dipahami tanpa perlu memahami sesuatu yang lain. Hanya ada satu yang memenuhi definisi ini, jadi yang dapat dipikirkan tanpa perlu memikirkan apa pun lagi, yaitu Allah. Karena itu, kita harus bertolak dari Allah. Kita juga sudah mendapat dalil fundamental metafisika Spinoza: Hanya ada satu substansi saja, yaitu Allah.
Nah, inilah pernyataan yang selama ini seluruh filsafat Barat tidak ada yang berani mengatakannya. Paling-paling Neoplatoisme dengan ajaran emanasi mendekatinya. Juga ada kemiripan dengan ajaran intellectus agens Aristoteles, terutama dalam interpretasi Ibn Rusyd dan Averoisme Barat bahwa hanya ada satu intellectus agens (akal fa’al). jadi, apa yang mengerti dalam individu-individu bukanlah akal mereka sendiri, melainkan akal ilahi. Namun, mengatakan bahwa yang ada hanyalah Allah pun belum pernah diucapkan dengan begitu terbuka karena pernyataan ini mempunyai implikasi—yang ditarik secara eksplisit oleh Spinoza—bahwa segala yang ada itu pun Allah. Atau lebih tepat, segala gejala pluralitas, yaitu kita orang-orang, binatang, tetumbuhan, alam, binatang, juga pikiran dan perasaan, itu semua tidak mandiri, itu semua hanya bentuk beradanya Allah, modus-modus atau cara-cara beradanya substansi yang satu itu.
Implikasinya jelas: alam dengan segala isinya adalah identik dengan Allah, tak ada perbedaan. Perbedaannya hanya dalam cara memandang. Itulah yang terungkap dalam rumusan termasyhur Spinoza: Deus sive substantia sive natura, Allah atau Substansi atau Alam. Ketiga istilah itu sama artinya. Dilihat dari segi alam, alam adalah natura naturata, alam yang dilahirkan, sedangkan dilihat dari sudut Allah, adalah adalah natura naturans, alam yang melahirkan.
Pluralitas yang kita hadapi dalam dunia pancaindra itu tidak bersubstansi sendiri. Ia adalah modus, cara-cara substansi ilahi yang sekaligus alam semesta itu menyatakan diri. Dengan cara itu Spinoza mengatasi dualisme Descartes, adanya dua substansi yang tak terdamaikan: res cogitans, realitas berpikir, dan res extensa, realitas beruang. Pemikiran dan keteruraian dalam ruang menurut Spinoza hanyalah dua atribut Allah, dua dari sekian banyak ciri Yang Ilahi.
Jadi, Allah bukan lain daripada alam semesta, dan alam dengan segala keanekaragaman unsurnya adalah Allah sendiri dalam modus-modusnya. Itu juga berarti bahwa Allah tidak bersifat pribadi, dalam arti: Allah sebagai lawan manusia, yang dapat menyapa manusia dan mendengarkannya, kepadanya kita berdoa, yang berhadapan dengan kita, Allah, partner dialog manusia (misalnya melalui wahyu). Paham itu ditolak Spinoza. Allah sama dengan alam, dan alam sama dengan kita. Kita berada dalam Allah; kita tidak berhadapan dengan Allah. Allah tidak di luar atau di atas dunia. Begitu pula, manusia tidak memiliki individualitas mutlak. (menurut agama-agama monoteis, juga menurut filsafat Kristiani, setiap orang secara individual bersifat mutlak, dalam arti: Allah menghendakinya untuk selama-lamanya; apabila ia mati, ia tidak larut dalam alam semesta, melainkan secara individual dipanggil Allah ke surga atau neraka; orang Yahudi, Kristen, dan Islam mengharapkan bahwa sesudah kematian akan bertemu dengan mereka yang sudah meninggal). Manusia hanya abadi dalam arti bahwa Yang Ilahi itu abadi dan mutlak, termasuk semua modusnya, tetapi tidak pada dirinya sendiri. Karena itu, tidak ada hidup individual sesudah kematian; surga dan neraka tidak dapat ditampung dalam kerangka pikiran Spinoza.
Kesatuan itu juga berlaku bagi pengertian kita: Apabila kita mempunyai pikiran (idea), perlu dikatakan bahwa Allah mempunyai pikiran itu. Pikiran dan pengalaman batin kita adalah pikiran dan pengalaman Allah.
Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa Spinoza disebut ateis: ia tidak mengakui adanya Allah dalam arti biasa, sebagai pencipta alam, yang bisa juga ada tanpa alam. Lebih tepat bila ia disebut penganut panteisme yang monistik, yaitu pengertian bahwa Allah adalah dalam segala-galanya, tak terpisah, sedemikian rupa hingga antara Allah dan alam tidak mungkin diadakan pemisahan sedikit pun. Ajaran itu memutlakkan imanensi dan menyangkal transendensi.
Spinoza mengembangkan filsafatnya secara apriori, dengan cara ilmu ukur (more geometrico). Karena itu, jiwa filsafat Spinoza terletak dalam ajarannya tentang Keniscayaan Mutlak. Karena segala yang ada merupakan uraian mutlak Allah yang mutlak pada diri sendiri dan tak ada unsur kebetulan sedikit pun, apa pun yang terjadi terjadi dengan mutlak dan niscaya. Kemutlakkan gerakan di alam maupun dalam pikiran dan perasaan batin manusia sama dengan kemutlakkan kenyataan bahwa jumlah sudut segitiga selalu sama dengan dua sudut siku-siku. Kesan kita, semua itu terjadi kebetulan hanya berdasarkan pengetahuan kita yang tidak tepat.
Secara konsekuen Spinoza menyangkal adanya teleologi dalam alam: tak ada yang terjadi demi mencapai tujuan tertentu. Segala yang terjadi berdasarkan causalitas efficiens, sebab-sebab kausal yang mutlak. Dalam dimensi ekstensi kausalitas itu mekanistik: sama tepatnya dan pastinya dengan gerak bola bilyar yang ditusuk, yang secara teoretis dapat diperhitungkan dengan pasti dan dalam kenyataan, kalau tusukan tepat, memang akan bergerak sesuai dengan perhitungan itu. Keniscayaan itu adalah akibat logis kesatuan segala-galanya dengan substansi Allah: Allah adalah sebabnya sendiri dan sebab segala-galanya, secara langsung, karena hanya Allah yang berupa substansi, dan oleh karena Allah itu niscaya, segala apa yang terjadi adalah niscaya.
Kesimpulan bagi manusia juga logis: Spinoza menyangkal adanya kehendak bebas. Seperti juga filsafat Stoa, begitu pula Spinoza, hanya dengan lebih konsisten, menyatakan bahwa kebebasan yang kita rasakan hanyalah semu, hanyalah akibat kenyataan bahwa kita berkesadaran. Keniscayaan yang disadari itulah apa yang kita sebut kebebasan.
Dampak demikian Spinoza pada filsafat Barat selanjutnya hampir tidak dapat dilebih-lebihkan meskipun membutuhkan lebih dari seratus tahun sebelum menyatakan diri. Spekulasi gerakan romantik tentang jiwa alam dan jiwa alam semesta, idealisme Jerman dengan tokoh-tokohnya Schelling, Fichte, dan Hegel terangsang oleh filsafat identitas Spinoza dalam pemikiran mereka sekitar subjek dan objek, roh dan alam, dunia dan Allah, Allah sebagai subjek yang sebenarnya di belakang subjek-subjek manusia. Namun, bukan hanya idealisme—yang melihat idea abadi di belakang gejala-gejala dunia empiris—sangat terpengaruh pemikiran Spinoza. Materialisme mekanistik pun demikian. Spinozalah pemikir pertama yang membuang teleologi. Ketidakmampuan berpikir teleologis, yang diimbangi oleh dominasi pemikiran mekanistik—yang menumpulkan filsafat revolusi Marx dan masih terasa dalam Teori Kritis Adorno dan Horkheimer—adalah khas bagi filsafat dan pandangan ilmu pengetahuan abad ke-19 yang warisannya masih dibawa ke dalam abad ke-20.
Filsafat Spinoza termasuk peristiwa besar dalam pemikiran Barat. Ia juga memperlihatkan ke mana jalannya sebuah rasionalisme ekstrem dan monisme metodis. Seluruh filsafat Spinoza adalah akibat titik tolak metodis, yaitu mos geometricus, cara ilmu ukur yang dimutlakkan, padahal pemilihan metode ini dengan satu kata pun tidak diberi pendasaran atau legitimasi. Bagi kita di sini tentu timbul pertanyaan fundamental: Apakah atas dasar pandangan deterministik dan monistik begitu ekstrem mungkin membangun sebuah etika?
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Baruch de Spinoza
2. Baruch de Spinoza (1632-1677)
3. Baruch de Spinoza. Etika
Post a Comment