Immanuel Kant. Otonomi Kehendak
Table of Contents
Immanuel Kant |
Kant mulai dengan menyingkirkan semua prinsip (maksim) yang berasal dari kehendak yang tidak bermoral. Semua prinsip ini, karena tidak ditetapkan oleh kehendak sendiri, melainkan mendahuluinya dan mau menentukannya dari luar, bersifat Heteronom. Artinya, di sini kehendak berhadapan dengan hukum yang bukan hukumnya sendiri (heteros=lain, nomos=hukum). Di sini termasuk semua objek, keadaan, atau kegiatan yang diinginkan karena menjanjikan nikmat, apakah itu perasaan-perasaan enak dan tidak enak (yang mau dihindari), perasaan moral, perhatian kepada kepentingan sendiri, juga tuntutan kesempurnaan realitas (sebagaimana menjadi prinsip Stoa), segala apa yang dilakukan karena tunduk kepada pihak lain, misalnya karena kita takut atau mengharapkan ganjaran, atau yang dilakukan untuk menjadi bahagia. Semua motivasi itu oleh Kant ditolak sebagai heteronom dan bertentangan dengan hakikat moralitas.
Kant bukan hanya berpikir tentang perasaan-perasaan jasmani seperti makan, minum, seksualitas, melainkan juga kegembiraan rohani sebagaimana kita mengalaminya dalam kegiatan yang kreatif atau apabila kita membuat gembira orang lain. Kant juga menyatakan bahwa orang yang hanya menaati perintah-perintah Allah karena ia mau menerima pahala dan masuk surga, atau karena takut neraka, tidak bersifat moral karena itu tidak pantas. Adapun kebahagiaan tidak mungkin menjadi prinsip moralitas karena pencapaiannya tergantung pada faktor-faktor empiris.
Semua pertimbangan heteronom dari luar itu oleh Kant disebut Materi Kehendak. Begitu materi menentukan kehendak, materi apa pun, kehendak berada di bawah hukum dari luar dan oleh karena itu terkena heteronomi dan tidak lagi berstatus moral karena tidak lagi universal dan tak bersyarat.
Apabila segenap materi ditolak sebagai unsur penentu kehendak moral, hanya tinggal satu, yaitu Formanya atau bentuknya. Kehendak otonom adalah kehendak yang semata-mata ditentukan oleh bentuk prinsip-prinsipnya. Apa yang dimaksud dengan Bentuk prinsip tindakan? Bentuk prinsip tindakan adalah keharusan atau hukum—sebagaimana telah kita dapat dalam imperatif kategoris. Dengan lain kata, kehendak otonom hanya mengakui diri berada di bawah keharusan yang berasal dari hukum atau kewajiban yang disadari dan diakuinya sendiri sebagai hukum dan kewajibannya. Apa yang disadari sebagai kewajiban, itulah yang dilakukan kehendak otonom.
Jadi, otonomi, atau pemberian hukum kepada dirinya sendiri, tidak bermaksud seakan-akan orang seenaknya dapat menentukan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang bukan. Melainkan, manusia melalui akal budi praktis murni menyadari—menurut kriteria imperatif kategoris—bahwa sesuatu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu menjadi kewajiban bagi saya adalah sama dengan mengakui bahwa sudah sepatutnya saya melakukannya. Jadi, kewajiban itu saya iyakan dan dengan demikian dia bukan lagi sesuatu yang dibebankan dari luar kepada saya (seperti tadi sudah dijelaskan: yang saya taati karena saya takut, atau mencari untung dan sebagainya, bukan karena saya meyakininya), melainkan hukum yang saya berikan sendiri karena saya betul-betul sadar dan membenarkan bahwa saya harus bertindak begitu.
Lepas dari argumentasi Kant yang cukup ruwet, dan agar maksud Kant menjadi lebih jelas, ada baiknya kita sekedar merefleksikan kewajaran posisi Kant. Atau lebih tepat, merefleksikan bahwa, sebaliknya, tidak wajar manusia menaati hukum atau peraturan apa pun yang prinsipnya tidak dapat diakuinya sendiri. Bisa saja saya menganggap suatu peraturan lalu lintas salah, atau bodoh, atau tidak perlu. Namun, bahwa negara harus menetapkan peraturan lalu lintas yang berlaku bagi semua, bahwa tidak mungkin negara bertanya kepada segenap warga negara dulu apakah ia keberatan atau tidak, dan bahwa oleh karena itu wajarlah ada peraturan lalu lintas dan wajarlah kita mau tak mau harus menaatinya, itu semua dapat kita setujui. Dengan demikian, peraturan itu bukan lagi sesuatu yang heteronom, melainkan otonom karena saya mengakui perlunya. Sebaliknya, memaksakan sesuatu kehendak kepada orang dewasa tanpa mengajak pengertian dan persetujuan dasar, semata-mata karena kita mampu mengancam atau membujuk, secara moral bersifat rendah.
Seperti ditulis Otfried Hoffe, pendasaran tindakan dalam otonomi memberikan ketajaman baru kepada rasionalitas dan tanggung jawab praktek. Bukan yang pada akhirnya ditentukan oleh kekuatan dorongan dan hawa nafsu, perasaan simpati dan antipati atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada, juga bukan yang mencari sarana terbaik untuk mencapai sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan dialah yang bertindak betul-betul rasional. Dalam arti setepatnya paham itu, yaitu dalam arti moral, orang hanya bertanggung jawab apabila ia mengikuti patokan-patokan hidup yang berasal dari kehendak otonom dan bukan heteronom, jadi yang diyakini sendiri.
Sikap otonom tidak berarti menyangkal bahwa kita mempunyai kebutuhan dan berbagai ketergantungan pribadi, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, tetapi berarti menyangkal bahwa kita ditentukan olehnya. Berhadapan dengan kondisi-kondisi itu, kita memilih apa yang kita yakini sendiri sebagai sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab kita.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Immanuel Kant
2. Immanuel Kant (1724-1804 M)
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Apa itu Moralitas?
5. Immanuel Kant. Imperatif Kategoris
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat
Post a Comment