John Stuart Mill. Latar Belakang

Table of Contents
Latar Belakang Pemikiran John Stuart Mill
John Stuart Mill
Utilitarisme bertolak dari situasi di mana kita berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak dan kita tidak tahu alternatif mana yang harus kita pilih. Utilitarisme mengklaim dapat menjawab pertanyaan: manakah tolok ukur tindakan yang bermoral? Dapat dikatakan bahwa tolok ukur itu terdiri atas empat unsur yang bersama-sama menghasilkan prinsip utilitarisme.

Pertama, kebanyakan teori etika—disebut deontologis—berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu sendiri. Misalnya, perbuatan yang kita sebut bohong pada dirinya sendiri tidak dapat dibenarkan secara moral. Berlainan dengan itu, utilitarisme mengukur moralitas sebuah peraturan atau tindakan dari akibat-akibatnya. Apabila akibat yang diusahakan baik, tindakan itu secara moral betul, apabila tidak, tindakannya salah.

Kedua, tentu kita harus bertanya: akibat mana yang disebut baik? Utilitarisme menjawab bahwa akibat yang baik adalah yang berguna (dalam bahasa Latin: utilis; karena itu, teori ini sejak John Stuart Mill disebut utilitarisme). Yang dimaksud bukan sembarang manfaat, melainkan kegunaan dalam menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada dirinya sendiri.

Ketiga, sekarang timbul pertanyaan: apa yang baik pada dirinya sendiri? Kelihatan bahwa utilitarisme memerlukan sebuah teori nilai. Karena utilitarisme bicara tentang akibat yang baik, utilitarisme memerlukan juga sebuah teori yang menjawab pertanyaan tentang apa yang baik atau bernilai pada dirinya sendiri. Teori nilai utilitarisme adalah eudemonisme. Yang baik pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan. Karena itu, tindakan yang betul dalam arti moral adalah yang menunjang kebahagiaan. Namun, penentuan itu belum lengkap karena kita dapat bertanya lagi: apa yang membahagiakan? Kebanyakan penganut utilitarisme, termasuk John Stuart Mill, menjawab bahwa yang membahagiakan adalah nikmat dan kebebasan dari perasaan tidak enak karena itulah yang selalu diinginkan manusia. Kelihatanlah bahwa eudemonisme utilitaris sekaligus bersifat hedonistik; mengusahakan kebahagiaan dianggap sama dengan mengusahakan pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman yang menyakitkan.

Keempat, masih ada unsur yang penting untuk memahami utilitarisme dengan tepat—dan kita akan melihat betapa John Stuart Mill menegaskannya. Utilitarisme menuntut agar kita selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyaknya. Namun, baik bagi siapa? Egoisme etis menjawab: yang baik (yang memberikan nikmat dan sebagainya) bagi si pelaku! Menurut egoisme etis, kita hendaknya bertindak sedemikian rupa hingga kita mencapai kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi kita sendiri. Namun, pandangan egoisme etis ini ditolak oleh utilitarisme. Yang menentukan kualitas moral suatu tindakan bukan kebahagiaan si pelaku sendiri, atau kebahagiaan kelompok, kelas, atau golongan sosial tertentu, melainkan kebahagiaan semua orang yang terkena dampak tindakan itu. jadi, utilitarisme tidak bersifat egois, melainkan menganut universalisme etis.

Karena itu, prinsip utilitarisme dapat dirumuskan sebagai berikut. Tindakan atau peraturan tindakan yang secara moral betul adalah yang paling menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan. Atau, Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu paling menguntungkan bagi semua yang bersangkutan.

Filsuf pertama yang menguraikan utilitarisme secara eksplisit dan sistematis adalah Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filsuf Inggris dan teman dekat ayah John Stuart, James Mill. Ia mengutarakan utilitarisme dalam empat bab pertama bukunya yang paling terkenal, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Mengikuti Hutcheson, Bentham merumuskan prinsip utilitarisme sebagai kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin (the great happines for the greatest number). Prinsip ini menurut Bentham harus mendasari kehidupan politik dan perundangan. Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Menurut Bentham, kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar: nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalisasikan perasaan sakit.

Bentham adalah seorang hedonis psikologis. Ia berpendapat bahwa segala tindakan manusia akhirnya didorong oleh keinginan untuk mencapai nikmat dan menghindari perasaan yang menyakiti. Dari kenyataan itu, ia menarik kesimpulan bahwa manusia hendaknya selalu mengusahakan kenikmatan dan menghindari perasaan tidak enak. Dari hedonisme psikologis, ia menyimpulkan hedonisme etis. Dari sekian alternatif, kita harus memilih yang saldonya antara nikmat dan perasaan tidak enak yang dihasilkannya paling positif. Jadi, kita harus mengadakan semacam kalkulasi: apa jumlah nikmat dan apa jumlah ketidakenakan suatu tindakan? Lalu kita memperbandingkan hasilnya dan kita tahu bagaimana harus bertindak, misalnya kalau kita memilih antara bohong dan tidak berbohong.

Untuk mempermudah kalkulasi itu, Bentham membuat semacam sistem kalkulasi. Ia mengandaikan bahwa semua nikmat sama jenisnya, tak ada perbedaan kualitatif. Yang berbeda hanyalah jumlah nikmat (dan perasaan tak enak) yang dihasilkan tindakan. Untuk memperhitungkan jumlah nikmat masing-masing pengalaman, Betham membuat sistem di mana berbagai segi yang relevan diberi semacam kredit point, misalnya apakah nikmat itu berlangsung lama atau sebentar, mendalam atau tidak, mandiri, dan sebagainya. Dengan demikian, ia mengharapkan dapat memperbandingkan nikmat perbuatan yang begitu berlainan, misalnya bowling dan mendengarkan pembacaan puisi.

Utilitarisme Bentham mempunyai beberapa kelemahan yang mencolok pada waktunya sudah mengundang banyak kritik. Yang ternyata paling fatal adalah kesan bahwa moralitas tindakan mau diukur dari nikmat jasmani yang dihasilkannya. Sampai Carlyle mencemooh utilitarisme Bentham sebagai pig philosophy, filsafat yang cocok untuk babi. Begitu pula, kalkulasi kuantitas nikmat yang termuat dalam setiap pengalaman tidak dapat direalisasikan karena ternyata ada macam-macam nikmat sehingga suatu pendekatan kuantitatif tidak masuk akal. Bagaimana mau ditetapkan secara objektif apa yang lebih banyak nikmatnya: makan malam di restoran atau pergi ke stadion melihat pertandingan sepak bola? Dua nikmat itu terletak di dataran yang berbeda, maka tidak dapat diperbandingkan.

Bentham juga tidak dapat memperlihatkan bagaimana prinsip kebahagiaan yang sebesar-besarnya dapat disesuaikan dengan hedonismenya. Ini karena kalau kita semua secara alami mengejar perasaan nikmat dan menghindar dari yang tidak enak, maka yang kita minati hanya nikmat kita sendiri. Bagaimana lalu kita mau mengusahakan kebahagiaan jumlah orang yang sebesar-besarnya? Kalau kita hanya mencari nikmat, apa yang dapat mendorong kita untuk mengusahakan nikmat orang lain?


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. Utilitarisme John Stuart Mill
3. John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis
4. John Stuart Mill. Pro dan Kontra Utilitarisme
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment