Definisi Pelecehan Seksual, Jenis, dan Tata Cara Pelaporan

Table of Contents
Pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan
Pelecehan Seksual

A. Definisi

Pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks. Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja baik tempat umum seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah. Dalam kejadian pelecehan seksual biasanya terdiri dari 10 persen kata-kata pelecehan, 10 persen intonasi yang menunjukkan pelecehan, dan 80 persen non verbal.

Dengan kata lain pelecehan seksual adalah:
1) Penyalahgunaan perilaku seksual
2) Permintaan untuk melakukan perbuatan seksual (undangan untuk melakukan perbuatan seksual, permintaan untuk berkencan)
3) Pernyataan lisan atau fisik melakukan atau gerakan menggambarkan perbuatan seksual, (pesan yang menampilkan konten seksual eksplisit dalam bentuk cetak atau bentuk elektronik (SMS, Email, Layar, Poster, CD, dll))
4) Tindakan kearah seksual yang tidak diinginkan
a. Penerima telah menyatakan bahwa perilaku itu tidak diinginkan
b. Penerima merasa dihina, tersinggung dan/atau tertekan oleh perbuatan itu; atau
c. Pelaku seharusnya sudah dapat merasakan bahwa yang menjadi sasarannya (korban) akan tersinggung, merasa terhina dan/atau tertekan oleh perbuatan itu

5) Perilaku fisik (seperti menyentuh, mencium, menepuk, mencubit, atau kekerasan fisik seperti perkosaan dll)
6) Sikap seksual yang merendahkan (seperti melirik atau menatap bagian tubuh seseorang)

B. Pendapat Ahli

1) Menurut Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Pelecehan seksual adalah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik

2) Menurut psikolog, Meity Arianty STP.,M.Psi., pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan. Aktifitas yang konotasi seks bisa dianggap pelecehan seks jika mengandung adanya pemaksaan, kehendak sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban dan mengakibatkan penderitaan pada korban.

3) Definisi serupa mengenai pelecehan seksual disampaikan komunitas perEMPUan, gerakan dan organisasi yang fokus pada isu perempuan. Komunitas itu sendiri menggunakan kata Empu, yang berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada kepemilikan. Bahwa perempuan berhak memiliki tubuhnya dan membela diri untuk melindungi tubuhnya dari kekerasan seksual. Rika Rosvianti dari komunitas perEMPUan menjelaskan bahwa kekerasan Seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Indikator kekerasan seksual saat ada paksaan dari salah satu pihak, aktivitas seksual dan memberikan kepuasan seksual pada satu pihak.

C. Pelaku dan korban

Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban ataupun pelaku atas perilaku yang  dianggap tidak sopan, memalukan atau mengintimidasi melalui sebuah pengujian yang obyektif, berdasarkan pertanyaan apakah seorang yang berakal sehat akan mampu mengantisipasi bahwa perilaku tersebut dapat menimbulkan efek seperti itu. Perilaku yang tidak diingkan tersebut tidak harus berulang-ulang atau terus-menerus dan bisa jadi berupa insiden tunggal. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.
1) Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang, maupun status sosial.
2) Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap insiden termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi dan perilaku yang dilakukan yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang berwenang.
3) Saksi bisa jadi seseorang yang mendengar atau melihat kejadian ataupun seseorang yang diinformasikan akan kejadian saat hal tersebut terjadi. Korban juga dianjurkan untuk menunjukkan sikap ketidak-senangan akan perilaku pelecehan.

D. Jenis Pelecehan Seksual

1) Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
2) Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual
3) Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir
4) Pelecehan tertulis atau gambar  termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya
5) Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus-menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual

E. Tingkat Kewajaran Pelecehan Seksual

Pengukuran kewajaran dalam pelecehan seksual dapat dilihat apabila perilaku tersebut mengarah kepada tindakan pelecehan seksual sehingga mengakibatkan timbul rasa tersinggung, malu atau takut. Unsur utama dalam pelecehan seksual adalah adanya rasa tidak diinginkan oleh korban. Selain unsur tidak diinginkan tersebut, masih terdapat tindakan yang tidak sopan yang mengarah pada pelecehan seksual dan menurut kebiasaan di lingkungan merupakan sesuatu yang dapat dikatakan sebagai tindakan pelecehan seksual. Sedangkan tindakan atau interaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka bukan sesuatu yang tidak diinginkan bukan merupakan pelecehan seksual.

F. Undang-Undang Mengenai Pelecehan Seksual

Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Apabila perbuatan tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam pasal percabulan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum (Lex Generalis) juga dapat dijadikan landasan dengan ancaman hukuman seperti yang diatur dalam Pasal pencabulan 289-299. Mengenai perbuatan cabul di tempat kerja, terutama bila dilakukan oleh atasan dapat kita temui ketentuannya dalam Pasal 294 ayat 2 angka 1 KUHP yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya. Dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yaitu dalam Pasal 86 ayat (1) yang isinya adalah: setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) keselamatan dan kesehatan; (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

G. Cara Melaporkan Pelecehan Seksual

Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa.
 

Sehingga, apabila terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat bukti surat berupa Visum et repertum sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP dan Pasal 133 ayat 1 KUHAP. Visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan. Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.

Dari berbagai sumber

Ket. klik warna biru untuk link

Download

Lihat Juga 
1. Pandangan Sosiologis terhadap Masalah Sosial
2. Kenakalan Remaja 
3. Patologi Sosial 
4. Remaja
5. Pengangguran
6. Kemiskinan
7. Kesenjangan Sosial
8. Kejahatan
9. Disorganisasi Keluarga
10. Stereotip
11. Perilaku menyimpang. Korupsi
12. Penyimpangan seksual
13. Konsep sosiologi. Permasalahan sosial
 
14. Memahami patologi suatu realitas
15. Pengertian Depresi, Penyebab, Gejala, Jenis, dan Cara Mengatasinya 
16. Pengertian Kriminalitas, Ciri, Penyebab, Dampak, Bentuk, dan Upaya Penanggulangannya
17. Pengertian Diskriminasi, Sebab, Jenis, dan Bentuknya 
18. Pengertian Marginalisasi, Ciri, Penyebab, Dampak, dan Contohnya 
19. Pengertian Gender, Seks, Identitas dan Peran Gender

Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 2.1 Permasalahan Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
2. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 2.2 Permasalahan Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
3. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 2.3 Permasalahan Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
4. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab 2. Permasalahan Sosial (Kurikulum 2013)
5. Materi Ujian Nasional Kompetensi Permasalahan Sosial
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment