Pengertian Kasta, Warna, dan Sistem Kasta di Bali

Table of Contents
Pengertian Kasta
Kasta

A. Pengertian Kasta dan Warna

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kasta diartikan sebagai golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama Hindu di Nusantara. Istilah kasta berasal dari kata dalam bahasa Portugis (caste) yang berarti pemisah atau tembok. Dalam Agama Hindu sendiri tidak dikenal istilah kasta, yang ada ialah warna atau caturwarna. Istilah warna berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta (varna) berarti memilih (sebuah kelompok), sedangkan istilah kasta dalam bahasa Sanskerta sendiri berarti kayu.

Perbedaan kasta dan warna terlihat mencolok. Kasta didapat sejak kelahiran dan berasal dari keluarga. Sementara warna merupakan golongan bagi orang-orang yang menekuni sebuah bidang pekerjaan. Dalam kasta tidak ada celah bagi golongan bawah untuk ke atas, sementara dalam warna, golongan Sudra bisa menjadi Brahmana jika menekuni bidang keagamaan.

Berikut pembagian dan penjelasannya:
a) Brahmana adalah golongan bagi orang yang menekuni bidang keagamaan dan menjadi pendeta. Warna Brahmana tidak bisa didapat sejak lahir. Golongan ini umumnya tidak menyukai kekerasan sehingga mereka tidak memakan daging dan menjadi vegetarian. Menurut kitab ke-10 Rig Veda, golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahmana, yang mengartikan golongan Brahmana adalah guru rakyat. Golongan Brahmana bertugas memimpin upacara keagamaan.
b) Kesatria adalah golongan bagi tokoh masyarakat. Golongan ini menekuni bidang pemerintahan dan administrasi negara. Umumnya, golongan ini mahir menggunakan senjata dan kemiliteran, serta siap berkorban demi kebenaran. Dahulu, Kesatria merujuk pada bangsawan, tentara, dan raja. Kini, Kesatria merujuk pada profesi penegak hukum dan prajurit pembela kebenaran. Golongan ini bertugas untuk menegakkan keadilan, memberi keamanan kepada ketiga warna lainnya, dan memimpin masyarakat.
c) Waisya adalah golongan yang identik dengan pedagang dan pebisnis. Waisya bersama Brahmana dan Kesatria biasanya disebut triwangsa yang berarti profesi yang menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Golongan ini biasanya penuh perhitungan, tekun, terampil, cermat, dan lain-lain. Contoh profesi Waisya adalah pedagang. Golongan ini bertugas memenuhi kebutuhan pokok ketiga kasta lainnya.
d) Sudra adalah kasta terendah dari keempat kasta utama. Sudra merupakan buruh, pembantu, nelayan, petani. Golongan ini melaksanakan profesinya menggunakan ketekunan, ketaatan, dan kekuatan jasmani. Golongan ini bertugas untuk membantu ketiga kasta di atasnya.

Di luar sistem kasta utama tersebut, ada pula istilah kaum Paria yaitu golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Kesatria. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari perkawinan antarwarna atau bangsa asing. Di India, ada juga kasta Dalit, Dalit berasal dari bahasa Sanskerta berarti patah, diinjak-injak, tertindas. Kasta Dalit dianggap tidak berhak meminum dari cangkir, menghadiri kuil, dan memakai sepatu yang sama dengan kelas atas. Kasta ini sering mendapat perlakuan diskriminasi di India karena masuk sub-kasta di India. Kasta Dalit berasal dari pedesaan. Biasanya berprofesi menjadi pekerja kasar, pembantu, dan pemulung.

B. Warna menjadi Kasta

Di atas telah disebutkan sistem warna, yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya, sistem warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa-penguasa feodal dan pengikut-pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya di masyarakat. Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide dasar dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.

Berbeda dengan sistem warna yang bersumber dari ajaran Veda, sistem kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem warna ini, adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa portugis yang berarti tembok pemisah. Penerapan politik devide et impera pada masa pendudukan Hindia Belanda membuat sistem kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem warna yang asli. Terdapat empat kasta dalam masyarakat Bali yang diambil dari sistem warna, yaitu Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut yang tertinggi menurut sistem kasta adalah Brahmana.

Keyakinan dasar agama Hindu sendiri memandang semua warna dalam masyarakat sama-sama memiliki nilai penting masing masing, sama halnya seperti seluruh bagian tubuh dalam kehidupan: semua adalah sama penting, sama-sama berguna serta saling menunjang satu sama lainnya, sehingga tidak ada bagian tubuh yang lebih rendah nilainya dari bagian yang lainnya, atau sebaliknya; lebih mulia dari yang lainnya. Tentunya sangat berbeda dengan apa yang kemudian diimplementasikan oleh sistem kasta, yang beranggapan sebagai Brahmana yang tertinggi karena kepala adalah bagian tubuh teratas, dan Sudra adalah kaki, maka paling rendah derajatnya.

C. Sistem Kasta di Bali

Sistem kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Kemiripan ini bisa terjadi karena kedua sistem ini berasal dari akar yang sama, yaitu kekeliruan dalam penerapan sistem warna yang bersumber dari Veda. Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali.
1) Sudra, petani, berjumlah sekitar 90 persen dari populasi Bali
2) Wesias (Waisya), kasta pedagang dan pegawai pemerintahan
3) Satria (Kshatriya), kasta prajurit, juga mencakup bangsawan dan raja
4) Brahmana, pendeta

Berbagai jenis sistem kasta di Bali
1) Caturwangśa, pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India, yaitu Brahmāna, Kşatriya, Waisya, dan Sudra. Selain itu, Bali juga mengenal istilah jaba atau luar, yaitu orang-orang yang berada di luar keempat kasta tersebut.
2) Triwangśa, pembagian kasta dengan hanya mengambil tiga kasta teratas dari sistem Caturwangśa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, triwangsa (tri·wang·sa) tergolong dalam kata benda yang memiliki arti tiga kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya). Berdasarkan triwangsa, semua gelar diperoleh secara askriptif atau turun-menurun dan ditentukan berdasarkan garis keturunan. Pola triwangsa masyarakat Bali memengaruhi kehidupan kerajaan Mataram, Lombok. Pengaruh terutama terlihat pada pemakaian gelar (gelar raja-raja, Anak Agung, Cokorda, Gusti dan lain lain), pola hubungan sosial, pelaksanaan upacara dan ritual kerajaan.

Pembagian berdasarkan golongan
1) Wong Majapahit, para keturunan Kerajaan Majapahit
2) Bali Aga, orang Bali asli yang sudah berada di Bali sebelum ekspansi Kerajaan Majapahit. Umumnya, masyarakat Bali asli ini tidak membaur dan terdesak hingga ke daerah terpencil (pegunungan) dan memiliki konotasi sebagai masyarakat terbelakang. Oleh sebab itu, sebutan Bali Aga tidak disukai oleh mereka. Logat masyarakat ini juga berbeda dari masyarakat Bali yang lain, yaitu mereka tetap melafal huruf a di akhir kata sebagai huruf a, bukan menjadi huruf ê. Contoh dari penduduk Bali Aga adalah masyarakat daerah Danau Batur.
3) Pasèk, siapa pasek ini, masih sering menjadi tanda tanya dan perdebatan, pada zaman dalem semara kepakisan mereka digolongkan kedalam kelompok pangeran bersama keturunan pradana Sri Aji Bali, yaitu prati sentana Dalem Tarukan. Hal ini terlihat jelas pada salah satu gelar mereka yaitu, I Gusti Agung Pasek Pangeran Tohjiwa. Saat itu mereka mendapat anugrah istimewa yaitu, luput dari hukuman mati/tidak boleh dihukum mati, hartanya tidak boleh dirampas, wanitanya tidak boleh dipermainkan dan pengampunan serta keringanan hukuman atas kesalahan-kesalahannya dll. Kemudian beberapa generasi berikutnya Raja Buleleng konon menyebut asal-usul Pasek sebagai keturunan pra menak ing bali, dalam nasihatnya kepada cucu beliau di Tojan. Namun belakangan di masyarakat modern berkembang pula definisi pasek dari sekelompok orang yang berusaha menyingkap sejarah jati diri Pasek dengan cara mengotak-atik suku kata pasek, mereka berpendapat bahwa pasek, berasal dari paek, atau parekan atau hamba sahaya. Pa kepanjangan dari parekan, sek kepanjangan dari seken, yaitu bahasa Bali yang berarti golongan hamba sahaya sejati.


Dari berbagai sumber

Ket. klik warna biru untuk link

Download

Lihat Juga 
1. Kekerabatan (kinship)
2. Kebudayaan dan masyarakat
 
3. Etnosentrisme
4. Enkulturasi
 
5. Globalisasi, partikularisasi, dan pengalaman kolonialisme
6. Multikulturalisme dan problem minoritas di Indonesia
7. Multikulturalisme dan Isu SARA

8. Persamaan
9. Hak asasi manusia
10. Demokrasi

11. Hak-hak Kaum Minoritas dalam Masyarakat Multikultural
12. Definisi Struktur Sosial
13. Fungsi Struktur Sosial dalam Kehidupan Masyarakat
14. Ciri-ciri Struktur Sosial
15. Pengertian Masyrakat Majemuk, Ciri, Faktor Penyebab, Jenis, Konfigurasi dan strukturnya 
16. Tradisi
17. Unsur-unsur kebudayaan
 
18. Tabu
19. Stereotip
20. Ras atau etnik

21. Daerah budaya (culture area)
22. Pengertian Ras, Faktor, Klasifikasi, dan Jenisnya 
23. Pengertian Kelompok Etnis atau Suku Bangsa, Identitas, Perubahan, Contoh dan Jenisnya
24. Pengertian Klan, Ciri, dan Bentuknya
25. Pengertian Prestise dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial 

Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 3.1 Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial (Kurikulum Revisi 2016)
2. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 3.2 Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial (Kurikulum Revisi 2016)
3. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 3.3 Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial (Kurikulum Revisi 2016)
4. Materi Sosiologi Kelas XI Bab 3.4 Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial (Kurikulum Revisi 2016)   
5. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab 3. Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial (Kurikulum 2013)
6. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab 1. Bentuk-bentuk Struktur Sosial (KTSP)
7. Materi Ujian Nasional Kompetensi Dinamika Struktur Sosial 
8. Materi Sosiologi Kelas XI. Bab 6. Masyarakat Multikultural (KTSP)
9. Materi Ujian Nasional Kompetensi Masyarakat Multikultural
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

1 comment

Comment Author Avatar
October 3, 2021 at 5:22 PM Delete
sangat mencerahkan sekali artikelnya