Materi Sosiologi SMA Kelas XI Bab 2: Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Tujuan Pembelajaran
1. Peserta didik diharapkan mampu membedakan permasalahan sosial umum dengan permasalahan sosial akibat pengelompokan sosial.2. Peserta didik diharapkan mampu menjelaskan macam-macam permasalahan
3. Peserta didik diharapkan mampu merancang pemecahan permasalahan sosial akibat pengelompokan sosial.
4. Peserta didik diharapkan mampu menghimpun informasi macam-macam permasalahan akibat pengelompokan sosial.
5. Peserta didik diharapkan mampu mengomunikasikan pemecahan permasalahan akibat pengelompokan sosial.
A. Permasalahan Sosial
1. Pengertian Masalah SosialIstilah 'masalah sosial' mengandung dua kata, yakni 'masalah' dan 'sosial'. Kata sosial membedakan masalah ini dengan masalah ekonomi, politik, biologi, fisika, kimia, dan masalah lainnya meskipun bidang-bidang tersebut masih berkaitan dengan masalah sosial.
Kata sosial mengacu pada masyarakat, hubungan sosial, struktur sosial, dan organisasi sosial. Sementara itu, kata masalah mengacu pada kondisi, situasi atau perilaku yang tidak diinginkan, aneh, bertentangan, tidak benar, dan sulit.
Ada berbagai pandangan para tokoh sosiologi tentang masalah sosial. Pandangan itu antara lain sebagai berikut.
a. Arnold Marshall Rose mengatakan bahwa masalah sosial dapat didefinisikan sebagai suatu situasi yang telah memengaruhi sebagian besar masyarakat sehingga mereka percaya bahwa situasi itu adalah sebab dari kesulitan mereka. Situasi itu dapat diubah.
b. Earl Raab dan Gertrude Jaeger Selznick berpandangan bahwa masalah sosial adalah masalah hubungan sosial yang menantang masyarakat itu sendiri atau menciptakan hambatan atas kepuasan banyak orang.
c. Richard dan Richard berpendapat bahwa masalah sosial adalah pola perilaku dan kondisi yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
d. Soerjono Soekanto (2015) mengatakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.
Baca Juga: Pengertian Masalah Sosial, Karakteristik, Kriteria, Pemicu, Penyebab, Bentuk, dan Cara menanggulanginya
Ada dua elemen penting mengenai definisi masalah sosial. Elemen yang pertama adalah elemen objektif. Elemen objektif berkaitan dengan keberadaan suatu kondisi sosial. Kondisi sosial disadari melalui pengalaman hidup manusia, media, dan pendidikan.
Kondisi sosial ini secara objektif berbahaya bagi masyarakat. Kondisi ini benar-benar realistis dan pernah dialami oleh masyarakat. Pengalaman yang berbahaya ini bersifat universal dan dapat dijumpai di seluruh dunia.
Sementara itu, elemen subjektif masalah sosial berkaitan dengan keyakinan bahwa kondisi sosial tertentu berbahaya bagi masyarakat dan harus diatasi.
Berdasarkan kedua elemen ini, masalah sosial dapat didefinisikan sebagai kondisi sosial yang dipandang oleh suatu masyarakat berbahaya bagi anggota masyarakat dan harus diatasi. Dari definisi ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan:
a. Penggunaan istilah masalah sosial menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah. Kondisi itu membahayakan manusia sehingga hal tersebut merujuk pada kondisi yang perlu dievaluasi sebagai sesuatu yang salah.
b. Masalah sosial adalah kondisi sulit yang memengaruhi tidak hanya satu orang, tetapi sebagian besar masyarakat
c. Definisi masalah sosial mengandung optimisme untuk dapat diubah. Masalah sosial merupakan istilah yang diberikan kepada kondisi yang kita anggap dapat diubah oleh manusia. Kematian bukanlah masalah sosial, tetapi peristiwa sekitar kematian dapat menjadi masalah sosial karena peristiwa-peristiwa itu dapat diubah.
d. Masalah sosial adalah kondisi yang harus diubah. Untuk itu, sesuatu perlu dilakukan.
Bagi masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, hal-hal yang menjadi masalah sosial dapat berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi antara lain oleh perbedaan nilai, keyakinan pengalaman hidup, dan periode sejarah.
2. Teori tentang Masalah Sosial
Masalah sosial dapat dilihat dari teori fungsionalisme, teori konflik, dan teori interaksionisme simbolik.
a. Teori Fungsionalisme
Menurut teori fungsionalisme, semua bagian masyarakat, memiliki fungsinya masing-masing dalam masyarakat. Untuk membangun tatanan sosial yang stabil, semua bagian masyarakat ini saling bekerja sama. Jika salah satu bagian dari masyarakat ini tidak menjalankan fungsinya dengan baik, maka terjadilah ketidakteraturan sosial dalam bentuk masalah sosial.
Berdasarkan teori fungsionalisme, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua pandangan tersebut berasal dari patologi sosial dan disorganisasi sosial. Menurut patologi sosial, masalah sosial diibaratkan sebagai suatu penyakit dalam tubuh manusia. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu sistem, organ, atau sel tubuh tidak bekerja dengan baik.
Penyakit sosial seperti kejahatan, kekerasan, dan kenakalan remaja, tumbuh dalam masyarakat karena peran institusi seperti keluarga, ekonomi, dan politik sudah tidak memadai lagi.
Sementara itu, menurut pandangan disorganisasi sosial, masalah sosial bersumber dari proses perubahan sosial yang cepat. Masalah sosial seperti pencurian, kekerasan, dan penyalahgunaan obat-obatan serta kegiatan negatif lainnya merajalela ketika norma melemah dalam masyarakat.
Masalah ini dapat diatasi dengan memperlambat gerakan perubahan sosial dan memperkuat norma sosial.
Baca Juga: Fungsionalisme Struktural
b. Teori Konflik
Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena perbedaan kepentingan antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Adapun, konflik ras atau etnis biasanya muncul dalam bentuk prasangka dan diskriminasi yang dimilik dan dipraktikkan oleh kelompok dominan terhadap minoritas
Konflik gender juga bisa menjadi sumber masalah sosial Konflik gender umumnya muncul dalam bentuk prasangka dan diskriminasi oleh laki-laki terhadap perempuan.
Baca Juga: Pengertian Gender, Seks, Identitas, dan Peran Gender
Dalam perspektif teori konflik, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua pandangan itu adalah teori Marxisme dan teori Non-Marxisme.
1) Teori Marxisme melihat ketidaksetaraan ekonomi dapat menjadi penyebab konflik sosial. Adanya ketidaksetaraan kelas dalam sistem kapitalisme menyebabkan munculnya masalah sosial. Banyaknya masalah sosial, seperti kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan kejahatan perusahaan disebabkan oleh sifat eksploitatif kapitalisme.
2) Pandangan teori Non-Marxisme menaruh perhatian pada konflik yang timbul karena kelompok-kelompok mempunyai kepentingan dan nilai yang berbeda. Perbedaan ini menimbulkan interpretasi yang berbeda atas masalah sosial.
Baca Juga: Teori Konflik Sosial
c. Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik melihat masalah sosial sebagai interaksi simbolis antara individu yang tidak mempunyai masalah sosial dan individu yang mempunyai masalah sosial.
Umumnya, interaksi simbolis adalah interaksi antara seseorang dan orang lain yang diatur oleh makna yang menghubungkan tindakan dan reaksi mereka. Dalam teori interaksionisme simbolik, juga terdapat dua pandangan yang berbeda tentang masalah sosial.
Pertama, teori pelabelan (labelling theory). Menurut teori ini, suatu kondisi sosial kelompok atau masyarakat tertentu dianggap bermasalah karena kondisi itu sudah dicap bermasalah.
Kedua, konstruksionisme sosial melihat bahwa individu yang menginterpretasikan dunia sekitarnya secara sosial mengonstruksi realitas secara sosial. Oleh karena itu masalah sosial juga merupakan konstruksi manusia.
Edwin Sutherland membuat istilah asosiasi diferensial untuk mengindikasikan bahwa sebagian besar dari kita belajar untuk menyimpang atau konform terhadap norma masyarakat melalui kelompok-kelompok berbeda tempat kita bergaul.
3. Faktor Penyebab Permasalahan Sosial
Soerjono Soekanto (2015) mengatakan masalah sosial adalah hasil dari proses perkembangan masyarakat. Selain itu, masalah sosial juga merupakan akibat dari interaksi sosial antarindividu, antara individu dengan kelompok, atau antarkelompok yang berkisar pada ukuran nilai adat istiadat, tradisi, dan ideologi yang ditandai dengan suatu proses sosial yang disosiatif.
Masalah sosial adalah kondisi ketidaksesuaian unsur-unsur kebudayaan dalam suatu masyarakat. Akibatnya, ketidaksesuaian ini akan membahayakan masyarakat dan menimbulkan kepincangan ikatan sosial dalam masyarakat. Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor- faktor ekonomi, biologis, psikologis, dan sosial budaya.
a. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab permasalahan sosial adalah kemiskinan. Dalam hal ini kemiskinan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
b. Faktor biologis yang di dalamnya terdapat persoalan yang harus dipecahkan, seperti penyakit endemis ataupun pandemi sebagaimana terjadi dewasa ini di dunia.
c. Faktor psikologis, seperti depresi, stres, gangguan jiwa, tekanan batin, penyakit saraf (neurosis), bunuh diri, dan sebagainya.
d. Faktor sosial dan kebudayaan, seperti perceraian, masalah kriminalitas, pelecehan seksual, kenakalan remaja, konflik rasial dan keagamaan, krisis moneter, dan sebagainya.
Dalam menentukan suatu permasalahan sosial, sosiologi menggunakan beberapa ukuran, yaitu sebagai berikut.
a. Terlihatnya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kenyataan di masyarakat.
b. Asal mula atau sumber permasalahan yang terjadi.
c. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kejadian atau peristiwa.
d. Adanya orang atau masyarakat yang menentukan.
e. Perhatian masyarakat terhadap suatu kejadian.
f. Dapat diperbaikinya suatu masalah sosial.
4. Munculnya Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial
Sebelumnya dijelaskan bahwa masalah sosial berkaitan dengan hubungan sosial. Menurut Kamanto Sunarto (2004), dilihat dari dimensi sikap, hubungan antarkelompok sering memunculkan sikap atau perilaku yang berbeda.
Dimensi sikap ini dapat juga memunculkan sikap partikular (partikularisme) dan eksklusi (eksklusivisme). Kecenderungan partikularisme adalah mementingkan pribadi atau kelompok di atas kepentingan bersama.
Secara sosiologis, sikap dan pandangan partikularisme ini cenderung memicu konflik apabila kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan heterogen. Partikularisme juga dapat menghambat integrasi sosial dan nasional.
Adapun eksklusivisme cenderung untuk memisahkan diri dari masyarakat yang dianggap berada di luar kelompoknya. Secara sosiologis, cara pandang dan sikap eksklusivisme mempunyai sisi positif dan negatif.
Dari sisi positif, masyarakat dapat tetap mempertahankan kebudayaan kelompoknya karena mereka menganggap kebudayaannya paling baik dan wajib dipertahankan sehingga tidak mudah dipengaruhi budaya dan tetap eksis. Dari sisi negatif, mereka sangat tertutup pada pengaruh budaya lain sehingga sangat sulit melakukan berbagai perubahan yang bersifat progresif.
Istilah eksklusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sebagai tindakan mengeluarkan sesuatu atau seseorang, atau keadaan dikeluarkan, terutama dari masyarakat arus utama. Anthony Giddens (2009) menyebutkan bahwa eksklusi sosial mengacu pada cara-cara seseorang atau sekelompok orang dikucilkan atau disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat.
Ada empat dimensi eksklusi sosial, yaitu eksklusi dari pendapatan atau sumber daya yang mencukupi, eksklusi dari lapangan pekerjaan, eksklusi dari fasilitas atau layanan publik, dan eksklusi dari hubungan sosial.
B. Ragam Permasalahan Sosial Terkait Pengelompokan Sosial
1. Ketidakadilan sebagai Masalah Sosial
Baca Juga: Pengertian Ketidakadilan Sosial, Prinsip, Faktor, Bentuk, dan Contohnya
Ada beberapa bentuk ketidakadilan, di antaranya adalah stereotipe, marginalisasi, subordinasi, dan dominasi.
a. Stereotipe
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan kategori kelompoknya. Stereotipe adalah bentuk prasangka yang didasarkan pada kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun nonverbal.
Stereotipe menunjukkan perbedaan kategori "kami" dengan "mereka". Kami selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in-group dan mereka sebagai kelompok yang inferior atau kelompok out-group. Stereotipe dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif.
b. Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses peminggiran kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial utama, seperti struktur ekonomi, pendidikan, dan lembaga sosial ekonomi lainnya.
Marginalisasi orang selalu melibatkan kemampuan penduduk yang dominan untuk melaksanakan beberapa tingkat kontrol dan kekuasaan atas kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Kelompok atau individu yang marginal sering dikecualikan dari layanan, program, dan kebijakan.
c. Subordinasi
Subordinasi atau penomorduaan adalah pembedaan perlakuan terhadap identitas sosial tertentu. Umumnya yang menjadi kelompok subordinasi adalah kelompok minoritas. Anggota kelompok mayoritas dan anggota kelompok minoritas diperlakukan secara tidak seimbang.
Kelompok mayoritas sangat dominan. Mereka menguasai sumber daya sehingga merasa dapat bertindak secara tidak adil, menguasai, dan mempunyai martabat lebih tinggi daripada yang lain.
Sementara itu. kelompok minoritas adalah kelompok yang kurang beruntung karena mereka secara fisik maupun kultural merupakan subjek yang diperlakukan tidak seimbang. Perlakuan diskriminasi sering diberikan kepada mereka.
d. Dominasi
Dominasi harus dipahami sebagai suatu kondisi yang dialami oleh orang-orang atau kelompok yang bergantung pada hubungan sosial, dengan beberapa orang atau kelompok lain memegang kekuasaan sewenang-wenang atas mereka.
Ada berbagai bentuk dominasi, di antaranya adalah perbudakan, rezim diskriminasi sistematis terhadap kelompok minoritas, rezim politik kolonial, despotisme, totalitarianisme, kapitalisme, dan feodalisme.
Dominasi sangat potensial merugikan segmen yang tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini terlihat dari berlangsungnya eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kelompok yang tidak mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif secara struktural dan sistemik dalam berbagai bidang.
2. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi sebagai Masalah Sosial
Kesenjangan dan stratifikasi sosial memang saling terkait. Stratifikasi sosial melembagakan pola-pola kesenjangan dan pola-pola kesenjangan menghasilkan stratifikasi sosial. Dalam pemahaman timbal balik ini, stratifikasi sosial mengacu pada distribusi sumber daya yang tidak merata.
Sementara itu, kesenjangan berarti perbedaan kesempatan atau kemampuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status. Di sini, kesenjangan harus dipahami sebagai perbedaan untuk memperoleh sumber daya yang dilembagakan.
Pola kesenjangan sosial dapat dipahami berdasarkan berbagai dimensi stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial merujuk pada suatu hierarki hak-hak istimewa relatif yang berdasarkan pada kekuasaan, kepemilikan, dan prestise.
Baca Juga: Pengertian Kesenjangan Sosial, Penyebab, Dampak, dan Contohnya
Ada dua bentuk kesenjangan, yaitu sebagai berikut.
a. Kesenjangan klasik, mencakup perbedaan kelas, status kekayaan, serta prestise yang dimediasi oleh gender, usia pendapatan, dan pendidikan.
b. Kesenjangan baru mengikuti kesadaran yang lebih besar akan kompleksitas global yang meningkat dan adanya berbagai rentang pilihan yang lebih besar, seperti pola konsumsi, gaya hidup, dan dinamika identitas. Hal ini telah mengakibatkan peningkatan heterogenitas dalam studi stratifikasi sosial.
Kesenjangan sosial mengacu pada cara pengkategorian orang berdasarkan karakteristik, seperti usia, jenis kelamin kelas, dan etnisitas berkaitan dengan akses ke berbagai layanan dan produk sosial. Bentuk-bentuk kesenjangan sosial dibentuk oleh berbagai faktor struktural, seperti lokasi geografis atau status kewarganegaraan, serta oleh wacana dan identitas budaya.
Adapun kesenjangan ekonomi selalu menjadi salah satu isu utama dari setiap sistem sosial. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan ekonomi antara lain sebagai berikut.
a. Menurunnya pendapatan per kapita sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi tanpa diimbangi peningkatan produktivitas.
b. Ketidakmerataan pembangunan antardaerah sebagai akibat kebijakan politik dan kekurangsiapan SDM.
c. Rendahnya mobilitas sosial sebagai akibat sikap mental tradisional yang kurang menyukai persaingan dan kewirausahaan.
Sementara itu, kesenjangan sosial-ekonomi mengacu pada kontras antara kondisi ekonomi orang yang berbeda atau kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang melaksanakan pembangunan atau modernisasi. Hal ini terjadi karena kurangnya kesempatan untuk memperoleh sumber pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Makin besar perbedaan untuk mendapat kesempatan-kesempatan tersebut, makin besar pula tingkat kesenjangan sosial- ekonomi yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, makin kecil perbedaan kesempatan-kesempatan tersebut, makin kecil pula tingkat kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi.
Kunci utama bagi upaya mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi adalah memberi akses kepada setiap anggota masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan berbagai fasilitas sosial serta memberi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya.
Sikap perilaku individu dan kelompok masyarakat yang sesuai dengan upaya itu adalah sebagai berikut.
a. Hidup sederhana sesuai dengan kebutuhan.
b. Peduli dengan nasib warga masyarakat yang kurang mampu dengan menciptakan pekerjaan bagi mereka.
c. Meningkatkan pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
d. Menghargai kreativitas dan hasil karya orang lain sehingga timbul kerja sama yang saling menguntungkan.
Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah sosial yang timbul dari kesenjangan sosial-ekonomi antara lain melakukan kebijakan berikut.
a. Pemberian subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan yang esensial bagi masyarakat yang kurang mampu, seperti subsidi bahan bakar minyak dan gas serta pembagian kartu jaminan kesehatan nasional.
b. Menggalakkan program Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) melalui modal bergulir tanpa agunan.
c. Pelatihan kewirausahaan untuk menimbulkan jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat.
Baca Juga: Pengertian Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Permasalahan, Klasifikasi, Jenis, Upaya, Prinsip, dan Tujuannya
3. Kemiskinan sebagai Masalah Sosial
Secara sosiologis, masalah kemiskinan timbul sebagai akibat adanya lembaga kemasyarakatan di bidang ekonom yang tidak berfungsi dengan baik.
Menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat mempertahankan skala hidup yang cukup tinggi untuk memberikan efisiensi fisik dan mental yang memungkinkan dirinya dan keluarganya menjalankan fungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan standar masyarakat, baik karena pendapatan yang tidak memadai atau pengeluaran yang tidak bijaksana.
Berdasarkan Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh World Bank, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia adalah pendapatan US$1,9 per hari
Berdasarkan penjelasan tersebut, kemiskinan dapat diartikan sebagai kondisi standar hidup yang sangat rendah. Bahkan, kebutuhan dasar pun tidak dapat terpenuhi.
Menurut Sumodiningrat, dkk., secara sosioekonomis, ada dua bentuk kemiskinan, yaitu sebagai berikut.
a. Kemiskinan absolut, yaitu keadaan orang-orang miskin yang memiliki tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
b. Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus faktor penyebab kemiskinan, yaitu sebagai berikut.
a. Kemiskinan natural, yaitu keadaan miskin dari awal sudah miskin. Menurut Baswir, kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, seperti cacat, sakit, usia lanjut, atau akibat bencana alam.
b. Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budaya ketika masyarakat merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Menurut Baswir, seorang miskin karena faktor budaya, seperti malas, boros, dan tidak disiplin.
c. Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia, seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi produksi yang tidak merata, dan korupsi yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.
Henry George menyebutkan penyebab utama kemiskinan adalah kepemilikan pribadi dan monopoli individu atas tanah. Pandangan ini muncul pada saat kepemilikan tanah menjadi alat ukur kekayaan pribadi.
Adapun Karl Marx mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena eksploitasi kaum pekerja oleh kaum kapitalis. Sementara itu, Robert Malthus mengatakan bahwa kemiskinan terjadi karena jumlah penduduk cenderung untuk meningkat menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan meningkat menurut deret hitung.
Baca Juga: Pengertian Deret, Deret Hitung, dan Deret Ukur
Faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat dikategorikan sebagai berikut.
a. Faktor pribadi meliputi antara lain penyakit fisik, penyakit mental, buta huruf atau aksara, kemalasan, pemborosan, serta demoralisasi atau penurunan karakter dan moral.
b. Faktor geografis meliputi antara lain iklim dan cuaca yang kurang baik, sumber daya alam kurang memadai, dan bencana alam.
c. Faktor ekonomi meliputi antara lain distribusi kekayaan yang tidak merata, depresi ekonomi, dan pengangguran.
d. Faktor sosial meliputi antara lain sistem pendidikan yang kurang baik dan kesalahan pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga.
Kemiskinan yang dihadapi suatu bangsa akan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia. Dampak dari kemiskinan antara lain meningkatnya angka putus sekolah dan menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya dan partisipasi aktif dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menanggulangi masalah kemiskinan ini.
Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, antara lain Undang-Undang (UU) RI Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kegiatan ini antara lain dilakukan melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program-program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.
Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan menetapkan perlindungan sosial meliputi, antara lain:
a. Program Simpanan Keluarga Sejahtera;
b. Program Indonesia Pintar; dan
c. Program Indonesia Sehat.
4. Intoleransi sebagai Masalah Sosial
Dalam KBBI, toleran dijelaskan sebagai bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dan toleransi dijelaskan sebagai sifat atau sikap toleran.
Baca Juga: Pengertian Toleransi, Tokoh, Jenis, Manfaat, dan Contohnya
Adapun intoleran dijelaskan sebagai tidak tenggang rasa atau tidak toleran dan intoleransi dijelaskan sebagai ketiadaan tenggang rasa. Tenggang rasa sendiri dijelaskan sebagai sikap dapat (ikut) menghargai dan menghormati perasaan orang lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa intoleransi mengacu pada pandangan yang mengabaikan atau tidak menghargai seluruh nilai yang ada di luar nilai diri atau kelompoknya.
Umumnya, intoleransi berupa tindakan-tindakan yang menolak orang-orang yang dianggap atau dipandang berbeda dari diri atau kelompoknya, seperti penghindaran, ucapan kebencian, penyingkiran atau peminggiran, diskriminasi, bahkan tindakan kekerasan.
Sikap intoleran juga berkaitan dengan pandangan primordialisme dan etnosentrisme. Primordialisme adalah suatu pandangan atau paham yang berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama, sehingga cenderung sulit menerima sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya.
Adapun etnosentrisme merupakan sikap primordial yang berlebihan yang menghasilkan sebuah pandangan subjektif atau fanatisme suku bangsa sehingga cenderung menolak nilai-nilai dan kebudayaan dari etnis lain. Kedua pandangan ini bisa memicu munculnya sikap intoleran yang pada akhirnya dapat memicu konflik di masyarakat.
5. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai Masalah Sosial
a. Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruptio (bahasa Latin), dari kata kerja corrumpere yang berarti 'busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, atau menyogok' (Erlangga, 2014). KBBI menjelaskan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Adapun dalam Kamus Sosiologi Antropologi yang ditulis oleh M. Dahlan Yacub Al-Barry (2001), korupsi dijelaskan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara/ perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain lewat penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Korupsi secara umum dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi yang merugikan masyarakat umum dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi meliputi antara lain pencurian atau penggelapan uang, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakadilan (Erlangga, 2014).
Baca Juga: Pengertian Korupsi, Unsur, Kondisi, dan Dampak Negatifnya
Ilham Gunawan (dalam Erlangga, 2014) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia rawan korupsi, antara lain sebagai berikut.
1) Kemiskinan. Tekanan hidup akibat kemiskinan dapat mendorong orang mengambil "jalan pintas" dengan melakukan korupsi untuk keluar dari kemiskinan.
2) Kurangnya pemahaman dan pengalaman akan ajaran agama dan etika. Ajaran agama dan etika memandu kita untuk berperilaku baik dan jujur. Apabila ajaran agama tidak dijalankan dengan benar, kemungkinan untuk berperilaku tidak baik dan tidak jujur menjadi lebih besar.
3) Lemahnya pengaruh pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan yang baik akan mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan melanggar hukum.
4) Ketiadaan atau lemahnya kepemimpinan dalam posisi- posisi strategis. Pemimpin yang baik akan memberikan contoh yang baik sehingga kemungkinan besar rakyatnya akan berperilaku baik juga.
5) Sanksi hukum yang lemah. Lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku korupsi tidak akan menghasilkan efek jera atau mencegah seseorang melakukan tindak korupsi.
6) Pengaruh kolonialisme atau penjajahan. Korupsi sistematis akibat gaya hidup mewah pejabat pemerintahan yang terjadi pada masa kolonialisme mengakar hingga saat ini.
7) Langkanya lingkungan yang bersih dari korupsi. Lingkungan yang baik dan bersih dari korupsi akan mendorong orang yang berada di dalamnya menjadi baik dan bersih dari korupsi. Sebaliknya, lingkungan yang sarat dengan tindakan korupsi cenderung menarik orang-orang di dalamnya untuk bertindak sama.
Pola-pola korupsi yang umumnya terjadi antara lain sebagai berikut (Erlangga, 2014).
1) Konvensional, misalnya pengambilan atau pencurian perlengkapan kantor.
2) Pemalsuan dokumen, misalnya pembuatan kuitansi fiktif atau pemalsuan ijazah.
3) Komisi, misalnya memberikan uang atau barang kepada pejabat berwenang.
4) Upeti, misalnya pemberian uang atau barang kepada atasan untuk mendapatkan fasilitas atau jabatan tertentu.
5) Nepotisme atau perkoncoan, misalnya seorang pejabat memberikan fasilitas khusus kepada keluarga atau temannya.
6) Perusahaan rekanan, misalnya pemberian proyek-proyek pemerintah kepada perusahaan tertentu saja.
7) Pungutan liar (pungli), misalnya permintaan sejumlah uang oleh seorang oknum untuk pengurusan suatu perizinan. Jika tidak diberikan, pengurusan perizinan tersebut akan dipersulit.
b. Kolusi
Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji atau persekongkolan (KBBI, 2016). Dalam UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kolusi dijelaskan sebagai permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Kerja sama tersebut umumnya menyimpang dari prosedur yang berlaku dan dilakukan dengan tujuan untuk meraup keuntungan serta merugikan orang lain. Kolusi juga sering kali berkaitan dengan gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma- cuma, dan fasilitas lainnya).
Baca Juga: Pengertian Kolusi, Modus Operandi, Ciri, Penyebab, Dampak, dan Contohnya
Kolusi yang terjadi secara berkelanjutan akan menimbulkan dampak negatif bagi banyak pihak. Dampak-dampak tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan dalam masyarakat.
2) Menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi serta pengentasan kemiskinan.
3) Terjadi pemborosan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi.
4) Terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara sehingga mengganggu proses demokrasi.
5) Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap aparat negara
6) Terjadi ketidakselarasan antara fungsi, tujuan, dan mekanisme proses (sesuai prosedur dan hukum) dengan praktiknya.
c. Nepotisme
Kamus Sosiologi Antropologi (Al-Barry, 2001) menjelaskan nepotisme sebagai berikut.
1) Tindakan memilih atau mengutamakan kerabat atau sanak saudara sendiri untuk diberi jabatan.
2) Kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri untuk diberi kedudukan di lingkungan pemerintahan, diberi kemudahan fasilitas usaha, dan sebagainya.
UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyebutkan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menyebutkan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, nepotisme secara umum adalah perbuatan mengutamakan kerabat atau keluarga sendiri yang didasari oleh rasa kesukaan dan kecenderungan, bukan karena kemampuannya untuk memegang suatu jabatan di lingkungan pemerintahan.
Baca Juga: Pengertian Nepotisme, Ciri, Jenis, Dampak, dan Contohnya
Demikian, korupsi kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah penyakit sosial yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Dampak yang dapat ditimbulkan KKN antara lain pemborosan sumber daya, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, ketidakstabilan, revolusi sosial, menimbulkan ketimpangan sosial dan budaya, serta merusak sendi-sendi kebersamaan yang telah dibangun dari zaman dulu.
Oleh karena itu, pemberantasan KKN harus dilakukan secara sungguh-sungguh, tanpa pandang bulu atau tebang pilih, sehingga rasa keadilan tumbuh di masyarakat dan wibawa pemerintah bisa dipertahankan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
a. Memiliki semangat anti-KKN serta memperbaiki moral diri.
b. Menindak tegas para pelaku KKN dan memberikan sanksi sosial.
c. Untuk pelajar, sedini mungkin dibekali dengan pendidikan anti-KKN, berperilaku jujur, dan bertanggung jawab.
d. Mengajak masyarakat untuk peduli dan terlibat dalam gerakan pemberantasan KKN serta membangun perilaku dan budaya anti-KKN.
e. Menghindari budaya hedonisme atau sikap hidup yang memuja kemewahan dunia.
C. Penelitian Berbasis Pemecahan Masalah Sosial
Soerjono Soekanto menyebutkan metode-metode atau cara-cara yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah sosial adalah dengan metode preventif dan represif.
Metode preventif menurut Soekanto sulit dilakukan karena harus mengetahui penyebab terjadinya permasalahan terlebih dahulu sehingga harus dilakukan penelitian mendalam. Metode pemecahan masalah yang sering digunakan menurut Soekanto adalah metode represif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah masalah tersebut terjadi.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sosial adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah.
Untuk mendapatkan pemecahan masalah yang baik dan sesuai dengan kondisi masyarakat, diperlukan proses penelitian yang sistematis dan terorganisasi dalam bentuk penelitian sosial. Tujuannya agar penelitian tersebut dapat menghasilkan rekomendasi upaya yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif.
Penelitian merupakan suatu proses atau rangkaian langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Berikut untuk mengingat kembali langkah-langkah pelaksanaan penelitian.
1. Menentukan Masalah atau Topik Penelitian
Langkah pertama dalam melakukan penelitian adalah menentukan masalah atau topik yang akan diteliti. Umumnya, topik penelitian yang dipilih sebaiknya sesuai dengan minat dan bisa diteliti oleh peneliti, data tersedia dan dapat diakses oleh peneliti, serta memiliki kegunaan praktis, bermanfaat, dan penting untuk diteliti.
2. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan (preliminary research) dilakukan untuk mencari informasi yang diperlukan peneliti agar permasalahan yang ingin diteliti menjadi lebih jelas serta menentukan diteruskan atau tidaknya suatu penelitian.
Ada tiga sumber pengumpulan informasi yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut.
a. Tulisan, meliputi dokumen, buku, majalah, koran, jurnal ilmiah, atau bahan tertulis lainnya. Studi ini juga disebut studi kepustakaan.
b. Manusia, yaitu narasumber atau para ahli. Informasi dari narasumber bisa didapatkan melalui proses wawancara, dan penyebaran angket.
c. Tempat meliputi tempat, lokasi, atau benda yang berada di tempat penelitian. Informasi bisa didapatkan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung di tempat yang akan menjadi lokasi penelitian.
3. Merumuskan Masalah Penelitian
Setelah mempelajari berbagai informasi yang didapatkan pada studi pendahuluan, peneliti mengemukakan latar belakang pemilihan masalah atau topik penelitian dan fakta- fakta sementara yang diperoleh dari pengamatan dan studi kepustakaan tersebut.
Baca Juga: Pengertian Latar Belakang Masalah, Ciri, dan Cara Menuliskannya
Dalam menentukan suatu masalah penelitian, peneliti perlu mempertimbangkan sejauh mana urgensi dan manfaat penelitian tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat serta aspek-aspek kepraktisan, seperti fakta dan data yang dapat diperoleh, dana, dan tenaga. Pertanyaan yang perlu ada dalam benak peneliti adalah "Kenapa masalah ini penting?"
Selanjutnya, peneliti merumuskan permasalahan penelitian. Pertanyaan yang diangkat adalah "Apa yang menjadi permasalahan dalam tema ini?" Peneliti menyusun pertanyaan penelitian yang berfungsi sebagai dasar penelitian dan merupakan hal-hal yang ingin dijawab melalui penelitian tersebut. Selain itu, pertanyaan penelitian menjadi "rambu- rambu sehingga penelitian dapat terfokus.
Peneliti juga perlu menentukan tujuan dan manfaat pelaksanaan penelitian. Tujuan penelitian merupakan jawaban yang ingin dicari dari masalah penelitian. Tujuan sangat berkaitan dengan kesimpulan yang merupakan jawaban yang diperoleh dari penelitian. Adapun manfaat penelitian merupakan kegunaan nyata dari hasil yang akan dicapai melalui sebuah penelitian.
4. Menentukan Landasan Teori dan Metode Penelitian
Pada tahap ini, peneliti menentukan landasan teori. Landasan teori merupakan telaah masalah penelitian berdasarkan teori-teori atau bacaan-bacaan. Landasan teori menjadi dasar teoretis bagi penulis untuk menjawab masalah penelitian dan merumuskan kemungkinan jawaban atas masalah penelitian (hipotesis).
Baca Juga: Pengertian Hipotesis, Karakteristik, Fungsi, Tahap Perumusan, dan Jenisnya
Seorang peneliti haruslah membaca berbagai bacaan yang relevan dengan penelitian, mulai dari konsep-konsep tentang variabel penelitian hingga metodologi penelitian agar memiliki pengetahuan yang luas terhadap masalah penelitian.
Selanjutnya, peneliti menentukan metode pendekatan penelitian yang akan digunakan. Secara umum, ada dua pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif melakukan pengamatan melalui kacamata yang lebih lebar dan mencoba untuk mencari pola hubungan antarkonsep yang belum ditentukan sejak awal.
Adapun pendekatan kuantitatif melakukan pengamatan melalui kacamata yang sempit pada serangkaian variabel yang telah disusun sebelumnya. Penentuan pendekatan ini sangat berpengaruh terhadap penentuan variabel atau objek penelitian, subjek penelitian, serta sumber perolehan data.
Kemudian, peneliti dapat menentukan metodologi penelitian, meliputi antara lain jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian berkaitan erat dengan masalah penelitian dan cara atau teknik pengumpulan data.
Secara garis besar, penelitian dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu berdasarkan tujuannya metode, taraf pemberian informasi, data yang dikumpulkan dan tempat pelaksanaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tergantung pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, dan sampel yang digunakan.
Dalam penelitian sosial, teknik pengumpulan data yang biasa digunakan adalah kuesioner atau angket, wawancara, observasi, dan studi literatur. Teknik analisis data merupakan cara mengolah data yang telah diperoleh dari lapangan. Teknik analisis data harus disesuaikan dengan jenis pendekatan penelitian.
5. Menyusun Rancangan Penelitian
Latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu landasan teori, hipotesis, dan metodologi penelitian yang telah disusun sebelumnya dirangkum menjadi sebuah rancangan atau proposal penelitian.
Rancangan penelitian merupakan gambaran umum tentang penelitian, berisi pokok-pokok perencanaan yang tertuang dalam suatu kesatuan naskah. Naskah rancangan penelitian dibuat secara ringkas, jelas, dan utuh. Rancangan penelitian sangat berguna bagi peneliti agar penelitiannya dapat berjalan benar, lancar, dan memberikan hasil yang baik.
6. Mengumpulkan Data
Dalam penelitian sosial, biasanya para peneliti menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mengurang kesalahan atau bias data dari teknik yang digunakan. Setiap teknik pengumpulan data memiliki alat atau instrumen pengumpulan data masing-masing. Instrumen pengumpulan data sangat tergantung pada jenis dan dari mana data diperoleh.
Baca Juga: Pengertian Pengumpulan Data, Prinsip, Proses, dan Metodenya
7. Menganalisis Data
Data yang telah dikumpulkan pada tahap sebelumnya masih dalam bentuk data mentah sehingga perlu diolah dan dianalisis agar dapat digunakan dalam proses penelitian. Proses tersebut bertujuan menyederhanakan data lapangan yang kompleks ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca.
Teknik analisis data dibagi atas dua macam, yakni kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data secara kuantitatif menggunakan rumus-rumus statistik dalam mengolah data Teknik analisis data secara kualitatif menggunakan analisa fenomena yang terjadi di lapangan dikaitkan dengan teori yang ada.
Langkah terakhir dalam kegiatan penelitian adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat, jelas, dan sistematis dari keseluruhan hasil analisis, pembahasan, dan pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian.
Pada tahap ini, peneliti mencocokkan hasil pengolahan dan analisis data dengan hipotesis yang telah disusun sebelumnya untuk menjawab pertanyaan masalah penelitian.
8. Menyusun Laporan dan Mengomunikasikan Hasil Penelitian
Tahap berikutnya adalah melaporkan dan mengomunikasikan hasil penelitian. Peneliti perlu menyusun laporan penelitian agar hasil penelitiannya dapat diketahui orang lain. Laporan penelitian merupakan karya ilmiah sehingga penulisannya harus mengikuti aturan penulisan ilmiah.
Secara umum, laporan penelitian terdiri atas tiga bagian besar, yakni pendahuluan, isi atau badan laporan, dan penutup.
a. Bagian Pendahuluan (Preliminary Materials), meliputi halaman judul, kata pengantar, daftar isi, serta daftar tabel, gambar, dan grafik.
b. Isi Laporan (Body of Paper), meliputi Bab I Pendahuluan (latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian). Bab II Landasan Teori (tinjauan pustaka dan kerangka teori). Bab III Metodologi (pendekatan penelitian, jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data). Bab IV Hasil Penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran.
c. Bagian Penutup, meliputi Kepustakaan, Lampiran, dan Indeks.
Setelah laporan hasil penelitian selesai disusun, tahap selanjutnya adalah mengomunikasikan hasil penelitian, baik melalui kegiatan presentasi dalam forum diskusi atau memublikasikannya melalui beragam media.
Dalam memublikasikan hasil penelitian, peneliti hendaknya mempertimbangkan beberapa etika penelitian berikut.
a. Menjaga privasi subjek penelitian dengan tidak memublikasikan informasi pribadi dan rahasia.
b. Data dan hasil analisis penelitian dipublikasikan dengan jujur.
c. Berhati-hati dan teliti dalam menganalisis data untuk menjaga kualitas hasil penelitian.
Sumber:
Maryati, Kun, Juju Suryawati, Nina R. Suminar. 2023. Kelompok Mata Pelajaran Pilihan: Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga. Jakarta
Lihat Juga:
Program Tahunan (Prota) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka)
Program Semester (Prosem) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka)
Capaian Pembelajaran Sosiologi Fase F
Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka)
PPT Penerbit: PPT Media Pembelajaran Sosiologi XI KM - Bab 2
Infografis Materi Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial
Lembar Kerja 2. 1 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Lembar Kerja 2. 2 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Lembar Kerja 2. 3 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Lembar Kerja 2. 4 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Lembar Kerja 2. 5 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Lembar Kerja 2. 6 Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial (Kurikulum Merdeka)
Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Uji Capaian Pembelajaran 1 (Kurikulum Merdeka)
Soal Uji Pemahaman Materi Sosiologi Kelas XI Bab 2:
Soal Pilihan Ganda Klik di SINI
Soal Esai Klik di SINI
Soal Uji Capaian Pembelajaran 1 Fase F (Kelas XI):
Soal Pilihan Ganda Klik di SINI
Soal Esai Klik di SINI
Materi Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial di Media Sosial:
https://youtu.be/6QdQUsqvdJQ?si=t-gxqFr1AmLfn66f
https://www.instagram.com/p/C6x3I5rxDV2/
https://www.tiktok.com/@sosiologisman1cibeber/video/7367264272096840968
Penjelasan Konsep Sosiologi tentang Permasalahan Sosial di Media Sosial:
https://youtu.be/XW1ZnDWGj5k?si=aY57EZUAuZg8RXsV
https://www.instagram.com/p/C7yJrSSR02h/
https://www.tiktok.com/@sosiologisman1cibeber/video/7376537173719305489
Baca Juga:
Glosarium Materi Sosiologi Kelas XI Kurikulum Merdeka
Buku untuk Siswa Sosiologi SMA Kelas XI (Fase F) Bab 2 Kurikulum Merdeka
Buku Panduan Guru Sosiologi SMA Kelas XI (Fase F) Bab 2 Kurikulum Merdeka
Buku Guru Sosiologi Kelas XI (Fase F) Kurikulum Merdeka
Buku Siswa Sosiologi Kelas XI (Fase F) Kurikulum Merdeka
Video Materi P5 tentang Perundungan (Bullying)
PPT Materi P5 tentang Perundungan (Bullying) untuk Kurikulum Merdeka
Post a Comment